Ini bukan tentang Ahmad Fathanah yang keterangannya terus berubah-ubah, namun sudah terlanjur dikutip di mana-mana. Membuat orang yang mengutipnya jadi bingung sendiri, kemarin pernyataannya kontra, sekarang pro, lalu kontra lagi. Awalnya dicaci, lalu dipuji, eh sekarang kontra lagi, membuat orang jadi keki saja dan mempermalukan orang yang " tebang kutip " ucapannya. Ya sudahlah biarlah Ahmad Fathanah dengan proses hukumnya. Kita hanya ingin mengambil " model pendekatan " dalam memahami konstruksi hadits dari proses sidang KPK yang lagi trend sekarang.
Dalam sebuah persidangan, ada diajukan bukti peristiwa seperti rekaman dll, juga saksi-saksi. Bila seorang terburu menafsirkan proses persidangan hanya dari satu dua bukti peristiwa maka dikhawatirkan akan jatuh seperti tiga orang buta yang berdebat tentang bentuk gajah, tidak utuh dan tidak akan pernah selesai. Hakim tidak akan menilai kasus hanya dari satu dua bukti peristiwa, tetapi dari keseluruhan proses yang disebut konstruksi peristiwa. Sebuah gambaran yang utuh dari peristiwa lalu barulah jatuh vonis. Lalu apa hubungannya dengan hadits ?
Seseorang yang belajar sendiri hadits, tanpa seorang guru yang telah memandang banyak " view " lalu terburu menyimpulkan dikhawatirkan akan jatuh pada konstruksi hadits yang tidak utuh. Oleh karena itu, amatlah penting kehadiran guru yang mengerti agama dalam sebuah majlis. Tidak cukup sekelompok pemuda bersemangat yang membaca satu dua hadits, lalu mereka mengambil kesimpulan sendiri, mengira-ngira sendiri. Saya ambilkan contoh, seorang ustad yang sekarang dianggap menjadi rujukan dalam ilmu hadits, pernah belajar sendiri ilmu hadits, baru mendapati tentang hadits witir yang harus ganjil, dia terburu membid'ahkan yang shalat witirnya 2 + 1, sudah terlanjur membid'ahkan sana-sini, belakangan dia baru baca bahwa ada hadits pula yang menjelaskan agar membedakan witir dengan shalat fardhu (maghrib) karena itu agar praktek pembedanya adalah ada pada dua cara 3 sekaligus tanpa tasyahud awal, atau 2+1. Sebuah keterlambatan yang disayangkan, karena keributan sudah ada di mana-mana.
Contoh lain, seseorang yang begitu keras menegur orang yang minum berdiri karena membaca hadits dalam bulughul maram larangan minum berdiri. Dia tidak membaca pula bahwa ada hadits di mana Rasul s.a.w pernah minum berdiri sehingga minum dengan duduk hukumnya tidak jatuh pada wajib tetapi mustahab (disukai). Atau pernah waktu shalat di Cicaheum Bandung, seorang Imam menegur begitu keras orang yang memanjangkan kainnya di bawah mata kaki, seandainya beliau juga membaca konstruksi hadits-hadits yang lain tentang alasan pelarangannya yang disebabkan khuyala (sombong) tentu tidak sekeras itu larangan beliau, sebab dalam madzhab syafi'iyyah itu dinilai makruh. Atau pernah juga saya menemukan orang yang menganjurkan hidup mewah dengan mengemukakan hadits tentah indahnya dunia sebagai sesuatu yang hijau, juga hadits tentang hal-hal yang melapangkan jiwa seperti rumah yang luas, dll. Seandainya dia mengingat juga hadits-hadits tentang hinanya dunia yang tidak lebih dari sayap nyamuk, atau cerita tentang diibaratkannya dunia seperti bangkai yang teronggok di tempat sampah, tentu tidak akan terlal berlebihan dalam " memboost " orang untuk semangat menyukai kemewahan dunia. Imam Ibn Athaillah telah menjelaskan konstruksi hadits yang seakan bertentangan itu, di mana dunia digambarkan kadang sebagai sesuatu yang indah dan kadang digambarkan kadang sesuatu yang menjijikkan, maka beliau menjelaskan bahwa dunia digambarkan sebagai sesuatu yang indah bila dipandang dengan pandangan syahwat, dan akan dianggap hina bila dipandang dengan pandangan iman.
wallahu a'lam bishshowab
Langlang Buana II