CATATAN DEBAT ASWAJA VS WAHABI DI BATAM BAG. 1

Diposkan oleh Label: di
Pada acara diskusi live yang diadakan di lokasi kantor Kemenag- Batam antara pihak salafi yang diwakili oleh Ustadz Zainal Abidin dan ustadz Firanda dan pihak Aswaja yang diwakili oleh ustadz Idrus Romli dan KH Thabari Syadzili, banyak sekali respon dan komentar para pendengar dan penyimaknya dari masing-masing pihak. Topic yang menjadi pembahasan dialog saat itu adalah :
  1. Ma’na dan hukum Bid’ah
  2. Hukum Talaffudz dengan niat dan Qunut
  3. Tahlilan, Yasinan dan dzikir bersama
  4. Ziarah kubur, Tabarruk dan wasilah
Dialog yang disampaikan pihak salafi, perlu kiranya saya luruskan dan saya tanggapi karena banyak syubhat dan tadlis yang dilontarkan mereka dan juga sebagai tambahan pencerahan bagi kita semua insya Allah.

Di awal pembicaraan ustadz Zainal menyinggung soal prinsip NU sebagai pengawal syare’at Islam secara murni. Rupa-rupanya ia ingin meniyindir warga NU baik ulama maupun awamnya yang menurut asumsinya NU bertentangan dengan prinsipnya sendiri dan ust Zainal mengira warga NU tidak prihatin dengan bid’ah dalam Agama, warga NU acuh tak acuh terhadap persoalan bid’ah, meskipun ada prinsip dalam NU yang mengecam perbuatan bid’ah, bagi ust Zainal label NU sebagai pengawal syare’at Islam secara murni itu tidak pas buat NU, karena faktanya justru sebaliknya. Inilah yang ingin disinggung dan disampaikan oleh  ustz Zainal dalam sesi perdananya itu.

Tanggapan :

Pada Point pertama sesi pertama, pihak salafi lepas dari topic pembicraan yang seharusnya membicarakan makna dan hukum bid’ah, akan tetapi ust zainal langsung menyinggung pada persoalan kasusnya langsung.

NU sebagai pengawal syare’at Islam secara murni memanglah benar, benar dalam persepsi kebenaran bukan persepsi perorangan terlebih persepsi sekte wahabi yang menyempal dari Ahlus sunnah. NU merupakan payung dari sekian payung untuk mengayomi warga Ahlus sunnah wal Jama’ah di Indoensia dari derasnya hujan penyimpangan aliran sempalan yang ada khususnya dari kaum wahabi yang menyempal dari prinsip tawasuth Ahlus sunnah.

Berbicara soal bid’ah yang disinggung salafi dalam diskusi itu, kaum Ahlus  sunnah Indonesia sejak masa wali songo hingga saat ini masih tetap memegang prinsip-prinsip mulia wali songgo yaitu nilai-nilai santun dan penuh etika dalam menghadapi berbagai macam karakter dan budaya yang ada bagi bangsa Indonesia.

Dengan sikap kearifan dan kecerdikan wali sanga yang dalam dakwahnya bisa memposisikan budaya sebagai jembatan dakwah, sehingga mampu membumikan ajaran-ajarannya di hamparan bumi Nusantara sampai dewasa ini. Sebaliknya seandainya da’i-da’i datangnya dari kalangan wahabi-salafi, Maka niscaya sedikit sekali orang yang masuk Islam, atau Islam akan dikenal ekstrem, radikal atau mungkin Islam tak akan dikenal hingga saat ini oleh bangsa Indonesia. Kenapa? Karena sudah pasti salafy wahhaby tidak akan mentolerir budaya apa saja yang ada dan berkembang saat itu. Mereka tidak akan bisa menghargai budaya bangsa bahkan akan memaksa membumi hanguskannya.

Ustaz Zainal menampilkan buku terjemahan yang menceritakan dialog sunan Ampel dan sunan Qudus, untuk membuktikan bahwa warga NU tidak menuruti kemauan sunan Ampel dan sunan Qudus. Berikut nukilannya :
Sunan Ampel bertanya atas usulan sunan Kali Jogo : “ Apakah adat-istiadat lama itu nantinya tidak mengkhawatirkan bila dianggap ajaran Islam, padahal yang demikian itu tidak ada dalam ajaran Islam, apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah ? “

Kemudian ust Zainal berasumsi dengan mengatasnamakan sunan Ampel dengan katanya “ Sesuatu yang tidak ada dalam ajaran Islam menurut sunan Ampel itu bid’ah “

Sunan Qudus menjawab : “ Saya setuju dengan pendapat sunan Kali Jogo, sebab ada sebagian ajaran agama Budha yang sama dengn ajaran Islam yaitu orang kaya harus menolong orang miskin. Adapun mengenai kekhawatiran kanjeng sunan Ampel saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang nanti aka nada orang Islam yang akan menyempurnakan “.

Ust Zainal mengomentari, “ Bukan mempertahankan bid’ah, ini kenginan sunan Ampel “.

Jawaban saya :

Seandainya cerita itu benar nisbatnya kepada sunan Ampel, sunan kali jogo dan sunan qudus, maka yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak ada dalam ajaran Islam yang bertentangan dengan pokok-pokok syare’at Islam adalah bdi’ah yang harus ditolak. Sebagaimana pemahaman jumhur ulama Ahlus sunnah. Bukan sebagaimana pemahaman salafi tersebut.

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan :
المحدثات من الأمور ضربانأحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة
“Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorangpun mengenainya bahwa hal baru ini tidak tercela..”[1]

Lebih jelas lagi Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :

والمراد بالبدعة: ما أحدث ممّا لا أصل له في الشريعة يدل عليه، فأمّا ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعًا، وإن كان بدعة لغة

“ Yang dimaksud dengan bid’ah adalah :  Segala perkara baru yang tidak ada asalnya dalam syare’at yang menunjukkan atasnya. Adapun perkara baru yang ada asal dari syare’at yang menunjukkan atasnya, maka bukanlah bid’ah dalam segi syare’atnya, walaupun itu bid’ah dalam segi bahasanya “. [2]

Pemahaman ini telah sesuai dengan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata, “ Rasulullah bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak bersumber darinya (syare’at), maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “ Yang tidak bersumber dari Agama ”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Adapun ucapan sunan Qudus : “ Saya setuju dengan pendapat sunan Kali Jogo, sebab ada sebagian ajaran agama Budha yang sama dengn ajaran Islam yaitu orang kaya harus menolong orang miskin. Adapun mengenai kekhawatiran kanjeng sunan Ampel saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang nanti aka nada orang Islam yang akan menyempurnakan “.

Ustadz Zainal salah menanggapinya, ia berasusmi bahwa adat istiadat itu harus dimusnahkan, padahal bukan itu yang dimaksudkan oleh sunan Qudus. Yang dimaksud menyempurnakan adalah bukan membumi hanguskan tradisi atau adat istiadat tersebut, karena sudah jelas makna menyempurnakan (itmam) secara bahasa maupun istilah adalah menambah dengan sesuatu yang lebih baik sehingga menjadi sempurna tidak kurang atau pun cacat.

Renungkanlah hadits-hadits berikut ini :
Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاك
” Sesunngguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia “. (HR. Baihaqi)

Dalam hadits tersebut Nabi Saw menegaskan untuk menyempurnakan akhlak karimah yang juga berarti budaya, tradisi dan adat masyarakat. Bukan malah melenyapkan atau membungi hanguskannya.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة وخالق الناس بخلق حسن
” Bertaqwalah kepada Allah di manapun kamu berada, susullah kejelakan dengan kebajikan yang biasa meleburnya dan berperilakulah kepada orang lain dengan perilaku yang baik “. (HR. Turmudzi dan Hakim)

Apakah yang dimaksud dengan perilaku yang baik ? Sayyidina Ali bin Abi Tholib saat ditanya tentang maksud perilaku yang baik dalam hadits tersebut, belai menjawab :

هو موافقة الناس في كل شيء ماعداامعاصي
” (Maksud perilaku yang baik tersebut) adalah beradaptasi dengan masyarakat dalam setiap hal selama bukan maksyiat “.[3]

Kemudian populer menjadi peribahasa :
لولا الوئام لهلك الانام
” Andaikan tidak ada adaptasi (dalam pergaulan) niscaya manusia akan sirna “.

Kita tengok adat ritual kaum Musyrikin Jahiliyah dalam melakukan tawaf di Ka’bah :
أَمَّا الرِّجَالُ فَيَطُوْفُوْنَ عُرَاةً وَأَمَّا النِّسَاءُ فَتَضَعُ اِحْدَاهُنَّ ثِيَابَهَا كُلَّهَا إِلاَّ دِرْعاً تَطْرَحُهُ عَلَيْهَا ثُمَّ تَطُوْفُ فِيْهِ …. فَكَانُوْا كَذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (السيرة النبوية لابن إسحاق 1 / 30)
“Para lelaki melakukan tawaf dengan telanjang. Sementara perempuan, diantara mereka melepas seluruh pakaiannya kecuali baju perang yang dilempar ke arahnya kemudian dikelilingi…. Hal itu terus berlangsung hingga Allah mengutus nabi-Nya Saw” [4]

Setelah Islam datang, hal yang diluruskan adalah tatacara tawaf yang sesuai Syariat, yaitu menutup aurat, dan bukan menghapus ritual tawaf itu sendiri yang telah ada sejak masa Nabi Ibrahim As, sebagaimana dalam firman Allah Swt al-A’raf: 31:
يَا بَنِيْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلا تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”

Ibnu Katsir berkomentar :
هَذِهِ اْلآيَةُ الْكَرِيْمَةُ رَدٌّ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ فِيْمَا كَانُوْا يَعْتَمِدُوْنَهُ مِنَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ عُرَاةً كَمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ (3028) وَالنَّسَائِي (5/233). اهـ (تفسير ابن كثير 3 / 405)
“Ayat yang mulia ini adalah bantahan kepada kaum Musyrikin yang melakukan tawaf di Ka’bah dengan telanjang, sebagaimana riwayat Muslim (No 3028) dan al-Nasa’i (V/233)” [5]

Maka jelas, bahwa ajaran Islam mesti disampaikan dengan santun dan menghargai budaya. Nilai-nilai toleransi, adaptasi dan pembauran pada budaya dengan sendirinya akan membuat masyarakat mencintai Islam. Namun perlu diingat pesan Sayyidina Ali  ” Maa ‘adal ma’ashi “ yaitu budaya atau tradisi yang bukan maksyiat. Artinya budaya atau tradisi yang bisa ditoleransi dan dimaklumi adalah yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia sendiri dan tidak bersebrangan dengan nilai-nilai agama. Sebagaimana definsi bid’ah yang dipaparkan imam Safi’i dan jumhur ulama Ahlus sunnah.

Oleh sebab itu, diperlukan filter yang jelas agar budaya dan agama dapat beriringan menuntun masyarakatnya kea rah yang benar. Yaitu filter akidah dan filter amaliyah. Filter akidah menjadi factor utama karena merupakan dasar keimanan pelaku budaya dan filter amaliah merupakan penjelas suatu budaya bisa menemukan legalitasnya atau tidak.

Inilah prinsip wali sanga dalam berdakwa di negeri kita tercinta ini yang sampai sekarang terus dilanjutkan oleh warga Ahlus sunnah dalam payung NU.

Kesimpulan dalam point ini adalah :
1. Prinsip NU sangat sesuai dengan prinsip wali sanga.
2. NU baik ulama dan warganya, sangat tanggap dalam masalah bid’ah, bukan hanya salafi-wahabi saja.
3. Anggapan ustadz Zainal, bahwa ada sebagian orang beranggapan masalah bid’ah hanya masalah wahabi salafi saja, ini tidaklah benar dan hanya berdasarkan dugaan usta Zainal semata serta minimnya pemahaman tentang makna bid’ah yang sesungguhnya.
4. Makna menyempurnakan adat-istiadat adalah menuntun masyarakat ke arah yang benar dengan menanamkan nilai-nila agamanya bukan malah melenyapkan tradisi tersebut selama konten tardisi itu tidak haram atau maksyiat.

Point Kedua sesi pertama : Ustadz Zainal Abdidin langsung menyinggung perosalan Tahlilan yang sebenarnya akan menjadi topic pada sesi pembahasan ketiga. Mungkin maksudnya ia langsung membahas pokok bid’ah yang dilakukan warga NU. Ia menukil redaksi dari kitab I’anah Thalibin dengan sepotong-potong sebagai berikut :
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر
“Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi Penguasa yang mencegahnya “ (I’anatuth Thalibin, 2/165)

Tanggapan saya :

Entah disengaja atau tidak, ustadz Zainal sudah melakukan ketidak jujuran dalam menukil redaksi tersebut. Dengan nukilan yang dicomot secara sepotong itu, orang yang mendengarnya akan mengira bahwa berkumpul di tempat keluarga mayyit dan memakan makanan yang disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yang dimaksud redaksi tersebut. Ustadz Zainal telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Ini suatu bentuk tadlis dan penipuan di depan public..

Sekarang kita tampilkan redaksi utuh dan lengkapnya :

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور…
Terjemahannya :

“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu mengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi keluarga mayyit maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa berat yang sangat. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ? berikan kami faedah jawaban yang termaktub…

Kemudian dijawab :
(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين
“ Segala puji hanyalah bagi Allah, sholawat dan salam semoga Allah curahkan bagi junjungan kita Nabi Muhammad serta keluarga, sahabat dan orang-orang setelahnya yang mengikuti manhaj mereka. Ya Allah aku memohon hidayah kebenaran dari-Mu..Ya apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islamd serta umat Islam ”.

Coba anda perhatikan, dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang sedang disinggung termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan pentakziyah menunggu makanan (بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat keluarga  yang terkena mushibah kematian, juga usaha keras yang memberatkan keluarga mayit untuk menghidangkan makanan tersebut, mereka merasa sangat malu jika tidak menyiapkan makanan bagi para pentakziah yang sedang menunggu hidangan makanan tersebut.

Dua kasus itu jelas melanggar etika dan sunnah dalam Islam, yang seharusnya dilakukan para pentakziah adalah menghibur dan mendoakan keluarga mayit agar bersabar dan mendapat pahala besar serta menyumbangkan makanan bagi keluarga mayit supaya tidak terbebani yang menjadikannya kesusahan di atas kesusahan. Dua ‘illat (alas an) inilah yang menjadikan kasus tersebut menjadi bid’ah mungkarah.

Hal ini jika ustadz Zainal mau tabayyun mengkroscek ke lapangan orang-orang yang melakukan tahlilan serta ikut menghadiri acaranya, maka dua ‘illat di atas tidak akan ditemukannya. Justru fakta yang akan ditemukan adalah di lingkungan warga baik NU ataupun lainnya ada sebuah tradisi yang sangat kental dan mengakar dimana keluarga yang meninggal mendapatkan bantuan dari tetangga dan kerabat dengan membawa beras mentah dan santunan uang. Bahkan di teras rumah duka telah disiapkan talam atau baskom besar yang ditutupi kain, untuk menampung uang sumbangan dari tetangga dekat maupun jauh. Kemudian secara suka rela dan tanpa dikoordinir, para tetangga membantu memasakkan hidangan untuk keluarga yang ditinggal wafat dan untuk para pentakziyah, yang kemudian di malam harinya mengadakan tahlil dan bersedekah atas nama orang yang meninggal.

Fakta tradisi ini sama sekali tidak masuk dalam pertanyaan dan jawaban dalam kitab I’aanah Thalibin tersebut bahkan sama sekali tidak melanggar sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan justru telah sesuai anjuran Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabda beliau :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ لَمَّا جَاءَ نَعْىُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ (أحمد رقم 1751 وابو داود رقم 3134 وابن ماجه رقم 1610)
“Ketika sampai berita meninggalnya Ja’far saat terbunuh. Nabi Saw  bersabda: Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka telah disibukkan dengan kesedihan” (HR Ahmad No 1751, Abu Dawud No 3134 dan Ibnu Majah No 1610)

Fakta dan realita ini telah diakui oleh Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, pengarang kitab Inarat al-Duja, saat menjawab pertanyaan tentang kebiasaan di Jawa saat takziyah dan tahlil pada hari-hari tertentu, berikut redaksinya :

اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ ِلاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ “اصْنَعُوْا ِلاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا” وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ
“Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarga mayit dengan membawa beras mentah, kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far’ dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan untuk  orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman”[6]

Dengan realita ini, maka illat-illat yang menjadikan tradisi membuat makanan bagi pentakziah itu bid’ah tercela sama sekali tidak ada, oleh sebab itu hukumnya berubah malah menjadi bid’ah hasanah dan bahkan sunnah karena telah sesuai anjuran Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai kaidah ushul fiqih :
الحكم يدور على علته وجودا وعدما
“ hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hokum”

Kesimpulan point kedua ini :
1. Ustadz Zainal Abidin telah melakukan ketidak jujuran dalam menukil redaksi kitab I’aanah Thalibin. Ini merupakan bentuk tadlis dan penipuan di depan public.
2. Tradisi membuat makanan untuk para pentakziah yang sudah lama dilakukan warga NU dan lainnya, sama sekali tidak melanggar etika dan sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak bisa divonis bid’ah tercela.
Bersambung pada poin-point berikutnya insya Allah…

Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Kota Santri, 01-01-2014
 

[1] Diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dengan sandanya dalam kitab Manaqib asy-Syafi’I : 1/469. Juga ada disebutkan dalam kitab al-Hawi lil Fatawa, as-Suyuthi : 1/276
[2] Fath al-Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali : 13/254
[3] Mirqah Shu’ud at-Tashdiq : 61
[4] Ibnu Ishaq dalam al-Sirah al-Nabawiyah I/30
[5] Ibnu Katsir : III/405
[6] Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219
Post a Comment

Back to Top