Beberapa waktu yang lalu saya melihat ada seseorang yang share artikel
ini. Saya tergoda untuk membacanya. Setelah membaca, saya meyimpulkan
apa yang ditulis oleh Pak Abduh Tuasikal ini sebagian besar benar,
kecuali beberapa kalimat yang muncul dari statemennya sendiri. Memang
benar Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengucapkan kata-kata
sebagaimana yang disampaikan di artikel, namun itu baru secara parsial.
Ada beberapa resiko yang bisa terjadi ketika kita membaca artikel ini
tidak secara komprehensif dengan tambahan literatur lain. Hal ini
dikarenakan artikel ini ditulis dari paradigma orang non-syafi’iyah, berbeda dengan paradigma syafi’iyah dalam
menanggapi kalimat dari Imam Syafi’i tersebut. Di mana saja
tambahan-tambahan yang diperlukan itu? Berikut saya cantumkan artikel
utuh dari Pak Abduh Tuasikal, lalu saya tambahi berbagai literatur yang
saya temukan. Selamat menikmati.
Kata Imam Syafi’i: Tinggalkan Pendapatku Jika Menyelisihi Hadits
Kategori: Manhaj
Belum Ada Komentar // 30 Mei 2012
Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih
melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, eh dia malah
mengatakan, “Tapi Pak Kyai saya bilang begini eh.” Ini beda
dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika
ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan
untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke
dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka
itulah pendapatku.”[1]
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya
kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab)
orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan
beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak
kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[2]
Imam Syafi’i juga berkata,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا
بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا
وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat
lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan
pedulikan ucapan orang.”[3]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”[4]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ
أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي
حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli
hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku
menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku
maupun sesudah matiku.”[5]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”[6]
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ
رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya
sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti
pendapat siapa pun.”[7]
Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut
ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding
perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ
الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az Zumar:
18). Kita sepakati bersama bahwa Al Qur’an dan As Sunnah adalah
sebaik-baik perkataan dibanding perkataan si fulan.
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).
Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin
yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah
tersebut dengan gigi geraham kalian.”[8]
Semoga kata-kata Imam Syafi’i di atas menjadi teladan bagi kita dalam
berilmu dan beramal. Tidak membuat kita jadi fanatik dan taklid buta
pada suatu madzhab. Boleh saja kita menjadikan madhzab Syafi’i sebagai
jalan mudah dalam memahami hukum Islam. Namun ingat, ketika pendapat
madzhab bertentangan dengan dalil, maka dahulukanlah dalil. Jadi kita
tidak diajarkan cuma sekedar fanatik.
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Majmu’ Al Fatawa, 20: 211.
[2] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[3] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.
[4] Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35.
[5] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[6] Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35.
[7] I’lamul Muwaqi’in, 2: 282.
[8] HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih
Diskusi
Mari kita mulai. Ada beberapa poin penting. Yaitu:
- Bagaimana para ulama menafsirkan perkataan Imam Syafi’i di atas?
- Jika kita menemukan sebuah hadits shahih tapi bertentangan dengan apa yang ada di madzhab beliau, bolehkah kita pakai? Apa syaratnya?
- Apa saja contoh hadits shahih yang bertentangan dengan madzhab beliau?
Pembahasan
- Bagaimana para ulama menafsirkan perkataan Imam Syafi’i di atas?
Ucapan Imam Syafi'i yang mengungkapkan hal ini sangat banyak
dan masyhur diriwayatkan oleh murid-muridnya di Mekah, Irak dan Mesir
sehingga menunjukkan keseriusan dirinya tentang hal ini. Namun perintah
ini ternyata tidak terbuka untuk dilakukan oleh sembarang ahli hadits
atau ahli fiqh, apalagi sembarang orang yang tidak mengusai ilmu hadits
dan fiqh dengan mendalam. Al-Hafiz Ibn Al-Shalah berkata, "Tugas ini
tidak mudah. Tidak semua faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya
boleh dijadikan hujjah." [Majmu' Syarh Al-Muhadzab, Imam Nawawi]
Tidak semua hadits, walaupun sahih sanadnya, siap diamalkan
untuk membangun sebuah hukum halal dan haram. Tidak terhitung ucapan
para ulama yang menegaskan bahwa mengamalkan hadits tanpa didahului
kajian seksama tentang status sanad dan isi matannya sering kali
menyesatkan pelakunya. Sufyan bin 'Uyainah (guru Imam Syafi’i) berkata,
"Hadits menyesatkan kecuali untuk para ahli fiqh." [Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi]
2. Jika kita menemukan sebuah hadits shahih tapi bertentangan dengan apa
yang ada di madzhab beliau, bolehkah kita pakai? Apa syaratnya?
Abu Syamah (ahli fiqh madzhab Syafi’I di Damaskus, dan merupakan salah seorang murid Ibnu Shalah) berkata:
"Setiap hadits sahih dari Nabi Saw yang berisi
hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-Syafi'i, maka hadits itu madzhabnya
tanpa ragu-ragu sebagaimana ucapannya ini. Adapun jika ada ucapannya
yang bertentangan dengan hadits tersebut, maka (kondisinya) terbagi
dua. Pertama, beliau tidak mengetahui hadits ini. Maka
hukumnya seperti yang pertama, yakni ucapannya harus ditinggalkan dan
hadits itu harus diterima sebagai madzhabnya. Hal ini jika teks hadits
dengan jelas menunjukkan hukum tersebut. Adapun jika tidak jelas, atau
dapat digabungkan antara isi hadits itu dengan pendapat Imam Syafi’i,
maka tak boleh.
Kedua, ia pernah mendengar hadits itu dan
mengetahui kesahihannya lalu ia mentakwilnya, maka harus diperhatikan
ucapannya. Jika ucapan itu jangan jelas dan kuat alasannya, maka ucapan
itu tidak boleh ditolak, akan tetapi hadits tersebut harus ditafsirkan
seperti penafsirannya. Seperti hukum membaca basmalah di dalam shalat
dan penafsirannya terhadap hadits Anas yang sangat jelas menafikan
bacaan itu. Begitu juga hadits batalnya puasa orang yang berbekam, sebab
ia mengatakan bahwa hadits tersebut mansukh. Jika ucapannya terbuka
untuk ditolak, maka hadits tersebut harus diterima seperti penafsirannya
tentang kewajiban membasuh tangan hingga ke siku dalam tayamum.
Dan tidak ada yang mampu melakukan hal ini kecuali orang
yang berilmu dan diakui ijtihadnya. Kepada orang ini lah Imam Syafi'i
menunjukkan ucapannya "Jika kalian menemukan di dalam kitabku
pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw maka ambillah
sunnah itu dan tinggalkan pendapatku." Jadi, ucapan ini bukan untuk sembarang orang." [Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi]
Imam Nawawi berkata, "(Ucapan Imam Syafi'i) ini hanya untuk
orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus
yakin bahwa Imam Syafi'i belum mengetahui hadits itu atau tidak
mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan
setelah mengkaji semua buku Imam Syafi'i dan buku murid-muridnya. Ini
syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu
memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Imam Syafi'i sering
kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di
dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau
sebab-sebab lainnya."
Imam Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, "Aku
tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Imam
Syafii dalam kitab-kitabnya." Ia berkata, "Kebesaran Ibn Khuzaimah dan
keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan
Imam Syafii, sangat terkenal." [Majmu' Syarh Al-Muhadzab]
Syaikh Umar Muhammad Nur, seorang pakar hadits dari
Singapura menyampaikan bahwa metode yang digunakan Imam Syafi'i kadang
berbeda dengan metode yang diterapkan ahli hadits yang lain. Misalnya,
beliau menilai hadis-hadis riwayat Ikrimah adalah lemah, sementara Imam
Bukhari mensahihkannya. beliau juga berpendapat bahawa riwayat Sulaiman
bin Yasar dari Aisyah adalah mursal [terputus], sementara Imam Bukhari
dan Imam Muslim menilainya bersambung.
Oleh itu, jika kita menemukan sebuah hadits yang disahihkan
sekelompok ahli hadits, dan isinya tampak bertentangan dengan pendapat
Imam Syafi'i, maka kita wajib memperhatikan dengan seksama: apakah
metode mereka dalam menilai hadits itu sejalan dengan metode Imam
Syafi'i atau tidak? Kita harus membayangkan: andai Imam Syafi'i
benar-benar tidak pernah mendengar hadits ini sebelumnya, lalu sekiranya
ia mendengar hadits ini; apakah ia akan mensahihkan hadits itu seperti
ulama-ulama hadits yang mensahihkannya atau tidak? Syarat ini menurut
saya sangat berat dilakukan oleh ahli fiqh yang tidak menguasai ilmu
hadits dengan sempurna.
Singkat kata, tanpa memenuhi semua syarat ini perkiraan
seseorang bahwa pendapat Imam Syafi'i telah bertentangan dengan hadits,
lalu ia segera meninggalkan pendapat itu dan mengamalkan hadits, tidak
dapat dibenarkan sama sekali. Apalagi jika ia melakukannya sambil
mengira tengah melaksanakan wasiat Imam Syafi'i yang telah diabaikan
oleh para pengikut madzhab Imam Syafi'i sendiri. Ibn Hibban, Ibn
Khuzaimah dan Ibn Al-Mundzir sering kali melakukan hal ini sehingga
pendapat mereka ditolak oleh ulama-ulama madzhab Syafi'i dan tidak
diakui sebagai bagian dari madzhab ini.
3. Apa saja contoh hadits shahih yang bertentangan dengan madzhab beliau?
Abu Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Al-Walid Hasan bin
Muhammad Al-Naisaburi ketika mengamalkan hadits "orang yang berbekam dan
yang dibekam batal puasanya" dan meninggalkan madzhab Imam Syafi'i yang
mengatakan bahwa bekam tidak membatalkan puasa. Hadits ini ditinggalkan
oleh Imam Syafi'i dengan sengaja karena dianggapnya mansukh oleh hadits lain. [Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi]
Muhammad bin 'Abd Al-Malik Al-Karaji meninggalkan qunut
dengan alasan, "Hadits bahwa Nabi Saw meninggalkan qunut di shalat subuh
sahih menurut saya." Taqy Al-Din Al-Subki berkata, "Setelah aku membaca
kisah ini, aku meninggalkan qunut di shalat subuh beberapa lama.
Kemudian aku melihat bahwa qunut yang ditinggalkan Nabi Saw adalah doa
untuk kabilah Ra'l dan Dzakwan, juga bukan di shalat subuh. Adapun
(untuk masalah) meninggalkan doa secara mutlak setelah berdiri di shalat
subuh ada hadits 'Isa bin Mahan. Mengenai hadits ini ada
diskusi-diskusi cukup panjang –sekarang bukan masa untuk menguraikannya.
Aku lalu kembali ke qunut sampai sekarang." [Thabaqat Al-Fuqaha Al-Syafi'iyyin]
Beberapa belas masalah di Madzhab Qadim yang ditarjih atas
Madzhab Jadid misal yang sangat jelas untuk hal ini. Abu Bakar bin
Al-Atsram berkata, "Suatu hari kami bersama Al-Buwaithi. Aku lalu
menyebutkan hadits 'Ammar bin Yasir tentang (cara) tayamum. Al-Buwaithi
lalu mengambil pisau dan menghapus (sebuah kata) dari kitabnya dan
merubahnya menjadi 'satu usapan'. Ia lalu berkata: Ini adalah wasiat
guru kami (Imam Syafi'i). Jika kalian (ahli hadits) mensahihkan sebuah
hadits, maka itu adalah pendapatku." [Ma'na Qaul Al-Imam Al-Muthallibi]
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tayamum harus dua kali
usapan; satu usapan untuk wajah, dan satu lagi untuk tangan. Ulama-ulama
madzhab Syafi'i kemudian memperbolehkan bertayamum dengan satu usapan
karena hadits ini walaupun dengan dua usapan lebih sempurna.
Imam Baihaqi sering kali melakukan koreksi madzhab Syafi'i
dengan hadits sahih di buku-bukunya tanpa melahirkan kritikan dari
ulama-ulama madzhab Syafi'i karena keluasan ilmunya dan kemahirannya
dalam mengkaji pendapat-pendapat Imam Syafi'i. Imam Baihaqi berkata
tentang puasa enam hari di bulan Syawal, "Madzhab Syafi'i mengikuti
sunnah jika sahih (sanadnya), dan sunnah ini telah sahih." [Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar]
Ia juga berkata tentang hadits qadha puasa orang yang telah meninggal
dunia, "Andai Imam Syafi'i melihat semua sanad-sanad hadits ini, ia
tidak akan menyalahinya." [Al-Sunan Al-Kubra]
Persoalan ini memang tidak mudah. Hal ini perlu disampaikan
agar orang-orang tidak mudah menghakimi orang lain yang amaliyahnya beda
apalagi sekelas Imam Syafi’i dan ulama-ulama pengikutnya. Apa yang
diputuskan oleh Imam Syafi’i bukan keputusan sembarangan. Dan bukan
orang sembarangan pula yang bisa meralat atau merevisi keputusan Imam
Syafi’i.
Sebagai penutup, saya mencantumkan perkataan ulama yaitu
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Khuzaimah Al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang
menyandang gelar Imam Al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab
Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum
diketahui oleh Al-Imam Al- Syafi’i dalam ijtihad beliau ? Ibn Khuzaimah
menjawab, “Tidak ada”.
[Al-Hafizh Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al- Nihayah]
Sumber : http://mochammadmaola.blogspot.com/2012/06/menanggapi-tulisan-pak-abduh-tuasikal.html