Duduk paling tengah adalah Syekh Yasin Isa al-Fadani sebagai mudir atau rektornya, di samping kiri beliau duduk Syekh Zainuddin Bawean. |
Syekh Muhammad Zainuddin lahir di Mekah pada tahun 1334 H/1915. Ayahnya adalah Syekh Abdullah bin Muhammad Arsyad bin Ma’ruf bin Ahmad bin Abdul Latif Bawean. Adalah kakeknya yang pertama kali menginjakkan kaki di negeri Hijaz. Orang-orang Bawean memang banyak yang menjadi pengembara, untuk tujuan ekonomi maupun untuk menuntut ilmu hingga ke Tanah Suci. Syekh Muhammad Hasan Asy’ari (wafat sekitar tahun 1921) adalah di antara orang-orang Bawean yang berhasil jadi ulama dan juga guru besar di Mekah.
Sejak kecil Syekh Zainuddin ngaji pertama kali sama ayahnya, lalu berguru pada ulama-ulama terkenal di Mekah dan Madinah. Di antaranya Syekh Amin al-Kurdi, Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syekh Muhammad Baqir al-Jugjawi (asal Yogyakarta), dan Syekh Sayid Muhsin al-Musawa (asal Palembang). Beliau juga nyantri dan belajar di Madrasah al-Fakhriyah, lalu di Madrasah Shaulatiyah pada tahun 1351 H/1932. Di tahun awal beliau bergabung ke madrasah favorit itu, sudah muncul konflik dan ketegangan di antara guru dan mahasiswa asal Indonesia.
Ceritanya, Madrasah Shaulatiyah, yang berdiri di Mekah pada tahun 1875, adalah madrasah favorit anak-anak Nusantara yang mau mendalami ilmu-ilmu keislaman. Siapa yang ngaji di sini pasti jadi ulama besar di kampungnya. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, hingga Syekh Musthafa Husein Purba, pendiri Pesantren Musthafawiyah, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, adalah di antara alumni Madrasah Shaulatiyah. Tapi, suatu kali ada seorang guru Arab di Madrasah Shaulatiyah ini yang kurang beradab: menghina bahasa Melayu dan menyebut orang Nusantara bodoh sehingga gampang dijajah Belanda. Kontan saat itu juga para mahasiswa tersinggung dan marah mengecam perilaku guru tersebut. Lalu muncullah semangat patriotisme orang-orang Indonesia di sana untuk membela agama dan juga bela kebangsaan Indonesia sekaligus. Tidak ketinggalan Syekh Zainuddin Bawean sendiri – waktu itu usianya jelang 20 tahun – ikut dalam semangat itu.
Pada tahun itu juga 1934 para ulama Nusantara kumpul dan bikin madrasah sendiri, dan meninggalkan Madrasah Shaulatiyah. Muncullah Madrasah Darul Ulum di tahun 1353 H/1934 yang berkarakter Islam Nusantara. Mudir atau rektor pertamanya adalah Syekh Muhsin al-Musawa (wafat 1935). Syekh Yasin Isa al-Fadani, ulama terkenal dari Nusantara dan sahabat akrab Syekh Zainuddin, juga pernah jadi rektor di sini. Seorang ulama Maghribi kenamaan dan ahli hadis dan nahwu bernama Syekh Ali bin Ibrahim al-Maliki (wafat 1948, gurunya para ulama Betawi dan ulama besar Indonesia lainnya) jadi pelindung dan guru besar di madrasah ini.
Maka Syekh Zainuddin pun pindah dan belajar di Madrasah Darul Ulum yang kemudian menjadi kiblat baru para pelajar Indonesia untuk studi dan menuntut ilmu di Mekah. Beliau juga ikut andil dalam pendirian dan pengembangan Darul Ulum, termasuk dipercaya mengajar beberapa tahun kemudian. Sejak itu Madrasah Darul Ulum terus berjaya mendidik dan mengeluarkan banyak ulama, antara lain karena para tenaga pengajarnya yang hebat dan alim. Selain untuk memperoleh sanad hadis dan kitab-kitab dari Syekh yasin al-Padani, para santri yang datang dari berbagai negara itu juga berniat mendalami berbagai ilmu keislaman dan sanad keilmuan dari guru-guru besar yang kebanyakan orang Indonesia itu. Syekh Muhammad Yasin Isa al-Fadani (wafat 1990) adalah rektor terakhir sebelum madrasah ini ditutup oleh pemerintah Arab Saudi dengan alasan tertentu.
Selain belajar dan mengajar di Madrasah Darul Ulum, Syekh Zainuddin juga ngaji dan berguru kepada beberapa ulama di dalam pengajian Masjidil Haram maupun di rumah-rumah ulama yang berada di sekitar Makkah. Di antara pengajian yang beliau ikuti adalah pengajian Syekh Muhammad Amin al-Kutbi, Syekh Habib Hasan bin Muhammad Fad’aq, dan Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi. Itu adalah bukti ketekunan beliau mencari ilmu dan berguru kepada sebanyak mungkin ulama di Mekah-Madinah hingga ke Yaman dan Indonesia – tempat beliau sering berceramah.
Dalam berbagai lawatan dan kunjungannya di beberapa daerah, beliau tidak lupa untuk selalu silaturrahim ke berbagai ulama dan mengambil ijazah ammah dari mereka. Ijazah ammah adalah perkenan untuk membaca kitab-kitab atau ilmu–ilmu tertentu dari seorang guru, yang diberikan secara umum dalam jamaah pengajian, dan tidak spesifik ilmu atau kitab tertentu yang harus dibaca dari awal hingga akhir. Di antara ulama-ulama yang memberikan ijazah ammah kepada beliau adalah sebagai berikut: Syekh Muhammad Ibrahim al-Mulla, Syekh Ibrahim bin Muhammad Khair bin Ibrahim al-Ghulayaini, Syekh Habib Hamid bin Abdul Hadi bin Abdullah bin Umar al-Jailani, Syekh Sayyid Muhammad bin Hadi as-Saqaf, Syekh Muhammad Abdul Hayy al-Kattani, Syekh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki, Syekh Habib Alwi bin Thohir al-Haddad dan Syekh Muhammad bin Muhammad Idris Ahyad al-Bogori.
Sementara itu, di antara para ulama yang berguru pada beliau dan meriwayatkan ilmu beliau adalah Syekh Nabil bin Hasyim Ala Ghamri dan Syekh Sayid Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani (wafat 2004). Yang terakhir ini dikenal sebagai ulama Mekah berpengaruh hingga ke Nusantara, dan penulis sejumlah buku, di antaranya Mafahim Yajib an Tushahhah yang mengoreksi pandangan-pandangan aliran Wahabi di Arab Saudi. Diceritakan bahwa beliau mendapat ijazah Syekh Muhammad Zainuddin Bawean seminggu sebelum wafatnya beliau di tahun 2004. Setelah berulang-ulang kali meminta dan memohon akhirnya, Syekh Zainuddin memberikan ijazah tersebut. Sepertinya Syekh Sayid Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani enggan menghembuskan nafas terakhir sebelum mendapatkan ijazah ammah dari ulama Bawean ini.
Syekh Zainuddin dikenal punya suara yang bagus, tawadhu dan alim. Gurunya, Syekh Amin al-Kurdi, pernah meminta beliau untuk melantunkan qashidah yang memuji Rasulullah shallallahualaihiwasallam. Beliau kemudian dipercaya menjadi muballigh di beberapa daerah di negeri Hijaz, hingga ke negeri Yaman dan Indonesia.
Syekh Zainuddin juga dikenal sebagai penulis beberapa karya kitab. Di antaranya al-Fawaidu-z-Zainiyah ala Manzhumati-r-Rahbiyah dalam soal hukum waris, Faidhu-l-Mannan fi Wajibati Hamili-l-Quran, al-Ulumu-l-Wahbiyah fi Manazili-l-Qurbiyah, Ghayatu-s-Sul liman yuridu-l-Ushul ila barri-l-ushul, musyahadatu-l-lmahbub fi tathhiri-l-qawalibi wa-lqulub, dan Ghayatu-l-Wadad fi ma li Hadza Wujudi mina-l-Murad.
Syekh Zainuddin Bawean menghabiskan masa tuanya di Mekah. Nama beliau selalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan ulama Mekah dan sekitarnya. Para ulama dan santri jamaah haji Indonesia selalu menyempatkan diri bersilaturahim kepada beliau, mencari berkat dan membaca sedikit dari kitab suci al-Quran sebab beliau merupakan seorang yang ahli qira’at. Ada pula yang meminta memperoleh ijazah ammah dari beliau – walau beliau dikenal tidak gampang memberi ijazah kepada orang lain.
Syekh Muhammad Zainuddin Bawean wafat pada tahun 1426 H/2005. Jenazah beliau dishalatkan di Masjidil Haram dan dimakamkan di Pemakaman Ma’la kota Mekah. Allah yarhamhu...
Ini adalah foto para ulama Indonesia pengajar di Madrasah Darul Ulum Mekah pada tahun 1375 H/1955. Duduk paling tengah adalah Syekh Yasin Isa al-Fadani sebagai mudir atau rektornya, di samping kiri beliau duduk Syekh Zainuddin Bawean.
Oleh : Ustadz Ahmad Baso