MELAFADZKAN NIAT KETIKA AKAN MELAKSANAKAN SHOLAT MENURUT PARA IMAM MADZHIBUL ARBA’AH BUKANLAH BID’AH DHOLALAH........ !!!!
HUKUM MELAFADZKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA WAHABI
Sebagaimana
kita kita ketahui bahwasanya para ulama Wahabi memvonis dan memfatwakan
bid’ah dholalah (karena mereka hanya mengenal sebutan bid’ah itu hanya
untuk satu macam saja, yaitu bid’ah dholalah, yang pelakunya di ancam
masuk ke dalam neraka) kepada kaum muslimin yang dalam praktek sholatnya
melafadzkan niat ketika akan melakukan Takbirotul ihram. Fatwa- Fatwa
yg membabi buta ini diantaranya dapat kita lihat di bawah ini :
FATWA LAJNAH DAIMAH YANG DIKETUAI OLEH SYEKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZZ :
فتاوى اللجنة الدائمة - المجموعة الأولى - (ج 6 / ص 319)
السؤال الثاني من الفتوى رقم ( 2444 )
س2: ما حكم التلفظ بالنية مثل قوله: (نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح)؟
ج2:
الصلاة عبادة، والعبادات توقيفية لا يشرع فيها إلا ما دل عليه القرآن
الكريم أو السنة الصحيحة المطهرة، ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم
أنه تلفظ في صلاة فرضا كانت أم نافلة بالنية، ولو وقع ذلك منه لنقله أصحابه
رضي الله عنهم وعملوا به، لكن لم يحصل ذلك فكان التلفظ بالنية في الصلاة
مطلقا بدعة، وقد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: « من أحدث في أمرنا
هذا ما ليس منه فهو رد » (1) وقال: « وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة
بدعة وكل بدعة ضلالة » (2) . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Link : http://alifta.com/Fatawa/FatawaSubjects.aspx?languagename=ar&View=Page&HajjEntryID=0&HajjEntryName=&RamadanEntryID=0&RamadanEntryName=&NodeID=647&PageID=2087&SectionID=3&SubjectPageTitlesID=23518&MarkIndex=2&0
Terjemah :
Soal : “Apa hukum mengucapkan niat seperti mengucapkan :
نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajah-Nya yang mulia.”
Jawab:
Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (tata caranya
ditentukan oleh syariat, harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun
aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi
shallallaahu ’alaihi wa sallam yang suci. Sementara tidak ada hadits
shahih dari Nabi shalallaahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa
beliau mengucapkan niat shalat, baik shalat sunnah maupun shalat wajib.
Seandainya beliau melakukan hal ini, pastilah para sahabat meriwayatkan
dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam dan tentu merekalah (orang
pertama) yang mengamalkannya. Akan tetapi semua ini tidak kita dapati
riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.”
Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam juga bersabda :
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
Wabillaahittaufiq
wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478,
Maktabah Asy Syamilah)
MENURUT IBNU UTSAIMIN :
Syaikh
al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat
niat ada di hati dan bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau
beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang berkhianat dan
mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat
yang Maha mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya
engkau tidak bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga
engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri
karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam
hatimu, Dzat yang akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada
satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu ’anhum bahwasanya mereka
melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)
Link : http://muslimah.or.id/.../serba-serbi-niat-shalat-1...
MENURUT AL BANI :
تلخيص صفة الصلاة – (ص 13)
وأما التلفظ بها بلسانه فبدعة مخالفة للسنة ولم يقل بها أحد من متبوعي المقلدين من الأئمة
“Adapun melafadzkan
niat dengan lisannya maka hal tersebut adalah Bid’ah, menyelisihi
sunnah dan tidak ada seorangpun dari pengikut orang-orang yang taqlid
kepada para imam yang mengucapkannya. (Talkhisu Shifati Shalatinnabiyyi hal.13, Maktabah Syamilah )
Link : http://islamport.com/w/alb/Web/381/13.htm
HUKUM MELALAFADZKAN NIAT MENURUT PARA IMAM MADZAHIBUL ARBA’AH
Ada beberapa keterangan yg bisa di baca kitab Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az Zuhailiy :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 137)
محل
النية باتفاق الفقهاء وفي كل موضع: القلب وجوباً، ولا تكفي باللسان قطعاً،
ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها
لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند
المالكية: ترك التلفظ بها (2) ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم
وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.
Tempatnya
niat menurut kesepakatan para ulama fiqh dan di semua tempat secara
wajib adalah di dalam hati, maka secara pasti tidak cukup dan tidak
disyaratkan menggunakan lisan. Tetapi menurut jumhur ulama, selain golongan Malikiyyah hukumnya adalah disunnahkan mengucapkan niat, untuk membantu hati untuk menghadirkannya, agar pengucapannya bisa menolong untuk berdzikir (mengingat). Sedang yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat,
karena hal tersebut tidak pernah di nukil dari Nabi Shollallahu ‘alaihi
wa Sallam dan para sahabatnya, demikian juga tidak dinukil dari para
imam yg empat.
Di halaman lain :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 331)
والأولى
عند المالكية ترك التلفظ بالنية، ويسن عند الشافعية والحنابلة: التلفظ
بها، إلا أن المذهب عند الحنابلة أنه يستحب التلفظ بها سراً، ويكره الجهر
بها وتكرارها.
Yang
lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat. Dan
menurut Ulama Syafi’iyyah dan Hambaliyyah disunnahkan untuk melafadzkan
niat, hanya saja menurut qoul madzhab Hanabilah
disunnahkan melafadzkannya dengan pelan, dimakruhkan membaca dengan
keras dan mengulang-ulangi niat.
Di halaman lain :
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 682)
ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية،والأولى تركه في صلاة أو غيرها.
.
Menurut
Jumhur ulama selain Malikiyyah, disunnahkan melafadzkan niyat. Menurut
Ulama Malikiyyah boleh mengucapkannya akan tetapi yang lebih utama
adalah meninggalkannya, baik di dalam sholat atau selainnya.
Yg ini tambahan menurut madzhab Maliki :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 684)
والأولى ترك التلفظ بها، إلا الموسوس فيستحب له التلفظ ليذهب عنه اللبس
Yang
lebih utama adalah meninggalkan melafadzkan niat, kecuali bagi orang
yang was-was, maka disunnahkan melafadzkannya agar terhindar dari
kesamaran.
Memang terdapat keterangan dari ulama Hanafiyyah yang mengatakan bid’ah melafadzkan niat sebagaimana keterangan di bawah ini :
Ibnu Najim Al Mishry Al Hanafi di dalam kitab Al Bahrur Roiq juz 3 hal 92-93, Maktabah Syamilah :
البحر الرائق - (ج 3 / ص 92-93)
وَقَدْ
اخْتَلَفَ كَلَامُ الْمَشَايِخِ فِي التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ فَذَكَرَهُ
فِي مُنْيَةِ الْمُصَلِّي أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ
وَصَحَّحَهُ فِي الْمُجْتَبَى وَفِي الْهِدَايَةِ وَالْكَافِي
وَالتَّبْيِينِ أَنَّهُ يَحْسُنُ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ وَفِي
الِاخْتِيَارِ مَعْزِيًّا إلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ سُنَّةٌ
وَهَكَذَا فِي الْمُحِيطِ وَ الْبَدَائِعِ وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهُ
بِدْعَةٌ إلَّا أَنْ لَا يُمْكِنَهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا
بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ يُبَاحُ وَنُقِلَ عَنْ
بَعْضِهِمْ أَنَّ السُّنَّةَ الِاقْتِصَارُ عَلَى نِيَّةِ الْقَلْبِ ،
فَإِنْ عَبَّرَ عَنْهُ بِلِسَانِهِ جَازَ وَنُقِلَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ
عَنْ بَعْضِهِمْ الْكَرَاهَةُ وَظَاهِرُ مَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ
اخْتِيَارُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ فَإِنَّهُ قَالَ : قَالَ بَعْضُ الْحُفَّاظِ :
لَمْ يَثْبُتْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ عِنْدَ
الِافْتِتَاحِ أُصَلِّي كَذَا وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِينَ بَلْ الْمَنْقُولُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ { كَانَ إذَا قَامَ إلَى الصَّلَاةِ كَبَّرَ } وَهَذِهِ بِدْعَةٌ
.
ا هـ .
وَقَدْ يُفْهَمُ مِنْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ
لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ أَنَّهُ لَا يَحْسُنُ لِغَيْرِ هَذَا الْقَصْدِ
وَهَذَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَغْلِبُ عَلَيْهِ تَفَرُّقُ خَاطِرِهِ
فَإِذَا ذَكَرَ بِلِسَانِهِ كَانَ عَوْنًا عَلَى جَمْعِهِ ، ثُمَّ رَأَيْته
فِي التَّجْنِيسِ قَالَ وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ ؛ لِأَنَّهُ عَمَلُهُ
وَالتَّكَلُّمُ لَا مُعْتَبَرَ بِهِ وَمَنْ اخْتَارَهُ اخْتَارَهُ
لِتَجْتَمِعَ عَزِيمَتُهُ .
ا هـ .
“Para Masyayikh berbeda
pendapat mengenai melafadzkan niat dengan menggunakan lisan. Di
terangkan dalam kitab Munyatul Musholli, hukumnya adalah Mustahab (di
sunahkan), demikian ini adalah qoul yang terpilih dan di shohihkkan di
dalalm kitab Al Mujtaba, Al Hidayah,Al Kafi dan At Tabyiin, hal tersebut
dianggap bagus karena bisa mengumpulkan Azimah (niat). Dan di dalam
kitab Ikhtiyar ma’ziyyan yg (disandarkan penukilannya) kepada Muhammad
bin al Hasan, bahwasanya hal tersebut adalah Sunnah, demikkian juga
keterangan di dalam kitab Al Mabsuth dan Badai’. Sedangkan di dlam kitab
al Qunyah hal tersebut adalah Bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan
baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara
mengucapkannya dengan lisan, maka menjadi mubah. Dan di nukil dari
sebagian ulama yang disunnahkan adalah meringkas niat di dalam hati,
apabila di ucapkan di lisannya maka boleh. Dan di nukil dari syarah Al
Munyah dari sebagaian ulama bahwasanya hal tersebuat adalah makruh. Dan
dhohirnya keterangan yanga ada di kitab Fathul Qodir bahwasanya hal
tersebut adalah bid’ah, tidak tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaii
wa sallam baik dari jalur shahih maupun dhoif bahwasanya beliau ketika
mengawali sholat mengucapkan : Usholli kadza (Saya akan sholat begini),
juga tidak pernah tsabit riwayat dari sahabat maupun tabi’in, akan
tetapi penukilan yang ada adalah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika berdiri untuk melaksanakkan sholat, beliau bertakbir, maka
permasalahan ini adalah bid’ah. Selesai (pembahasan).
Namun
apakah yang di maksud dengan ucapan bid’ah dan sunnah dalam ibarat
diatas menurut ulama Hanafiyyah ??? Bisa dibaca disini :
البحر الرائق - (ج 3 / ص 93)
وَزَادَ
فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ أَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ الْأَئِمَّةِ
الْأَرْبَعَةِ أَيْضًا فَتَحَرَّرَ مِنْ هَذَا أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ
عِنْدَ قَصْدِ جَمْعِ الْعَزِيمَةِ ، وَقَدْ اسْتَفَاضَ ظُهُورُ الْعَمَلِ
بِذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَعْصَارِ فِي عَامَّةِ الْأَمْصَارِ
فَلَعَلَّ الْقَائِلَ بِالسُّنِّيَّةِ أَرَادَ بِهَا الطَّرِيقَةَ
الْحَسَنَةَ لَا طَرِيقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَقِيَ الْكَلَامُ فِي كَيْفِيَّةِ التَّلَفُّظِ بِهَا
Dan
terdapat keterangan tambahan dalam kitab Syarhul Munyah bahwasanya hal
tersebut (melafadzkan niat) itu tidak di nukil dari para imam yang empat
juga. Maka beliau memeriksa lagi dari keterangan ini bahwasanya hal
tersebut adalah bid’ah hasanah ketika bermaksud untuk mengumpulkan niat.
Dan telah tersiar luas mengenai pengamalan hal tersebut pada banyak
masa di umumnya semua tempat, maka barangkali ulama yang mengucapkan
sunnah, yang di maksud adalah Thoriqoh hasanah (cara yang baik) bukan
cara (yang pernah di lakukan) nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai pembicaraan di dalam tata cara melafadzkan niat.
KESIMPULAN DARI IBARAT-IBARAT DIATAS :
Tidak
ada satupun dari ulama Madzhibul Arba’ah yang memfatwakan Bid’ah
Dholalah bagi orang yang melafadzkan niat ketika akan sholat. Menurut
penjelasan ulama Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir
hukumnya boleh namun menyelisihi keutamaan (Khilaful Aula, tidak sampai
Makruh), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum
melafalkan niat sebelum shalat hukumnya adalah sunnah.
Sedang
menurut Jumhur ulama dan kesepakatan para pengikut madzhab Imam Syafi’iy
(Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah)
hukumnya adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum Takbiratul Ihram
itu dapat membantu untuk menghadirkan dan mengingatkan hati sehingga
membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Sedang
mengenai ucapan bid’ah di dalam istilah sebagian ulama Hanafiyyah juga
sama sekali tidak diarahkan kepada bid’ah dholalah.
TUJUAN MELAFADZANKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA
Mari kita baca keterangan para ulama di bawah ini :
Al-Allamah
Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab
Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul 'Ain
bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 :
فتح المعين - (ص 16)
( و ) سن ( نطق بمنوي ) قبل التكبير ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه
“Disunnahkan
mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu
hati dan untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang
mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
نهاية المحتاج -
(
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ )
لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ
وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ ،
“Disunnahkan
melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat
membantu hati , agar terhindar dari was-was serta menghindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul
Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab
Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
فتح الوهاب -
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati."
Diperjelas
di dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul
Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman
Al-Jamal :
حاشية الجمل –
وَعِبَارَةُ
شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ
الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ .
"Dan
sebuah ibarat dari Syarah Imam Romli, agar lisan dapat membantu hati,
karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was, serta untuk
mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Selesai
(pembahasannya)."
Al-Imam Syamsuddin
Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al
Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) :
مغني المحتاج -
(
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ )
لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ
"Disunnnahkan
mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati, karena
hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat :
ويندب النطق قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب
"Dan disunnahkan mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] :
إعانة الطالبين –
( قوله وسن نطق بمنوي ) أي ولا يجب فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر إذ العبرة بما في القلب
( قوله ليساعد اللسان القلب ) أي ولأنه أبعد من الوسواس وقوله وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[Ucapan
muallif : Disunnahkan mengucapkan niat] maksudnya tidak wajib, maka
apabila hatinya berniat shalat Dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat
Asar, maka tidak masalah, karena yang dianggap adalah apa yang ada
didalam hati. [Ucapan muallif : Agar lisan membantu hati] maksudnya
adalah terhindari dari was-was dan menghindari perselisihan dengan ulama
yang mewajibkannya, maksudnya mengucapkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ .
“Dan disunnahkan mengucapkan niat sesaat sebelum takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Di dalam Kitab Matan Al-Minhaj li Syaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :
منهج الطلاب -
ونطق قبيل التكبير
"(Disunnahkan) mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram)"
Di
dalam kitab Safinatun Naja karya Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim
bin Sumair Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
"Niat
adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Tempatnya niat
adalah di dalam hati, sedangkan melafadzkan niat dengan menggunakan
lisan hukumnya adalah sunnah"
Di dalam
kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil
Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) :
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
"Adapun melafadzkan niat, maka hukumnya adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati"
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, di dalam kitab Minhajul Qawim (1/191) :
فصل
في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة
فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب
ذلك
"Fashal di dalam menerangkan sunnah-sunnah
shalat. Sunnah-sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan
melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram di dalam sholat fardhu
dan sunnah, agar lisan dapat membantu hati, serta untuk menghindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah
Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i,
Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut -
Lebanon :
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
"Ucapan
muallif : (Tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan melafadzkan
niat di dalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama
yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam
Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi
Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" :
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"Dan
disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat
membantu hati, dan karena hal tersebut dapat lebih jauh (selamat) dari
was-was "
Di dalam kitab Al-Wafi Syarah
Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin
Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1 :
ومحل النية القلب؛ فلا يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"Dan
tempatnya niat adalah hati, maka tiada disyaratkan melafadzkannya,
tetapi disunnahkan (melafadzkan niat) agar lisan dapat membantu hati
dengan menghadirkannya"
Hawasyi Asy-Syarwaniy karya Abdul Hamid Al Makkiy Asy Syarwaniy (1/240) :
حواشي الشرواني والعبادي - (ج 1 / ص 240)
ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
"Termasuk diantara kesunahan sholat adalah melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"
Abdurrahman Muhammad AL Hanafiy yang di kenal dengan Syaikhiy Zaadah dalam kitab Majma’al Anhar juz 1 hal 232 :
مجمع الأنهر - (ج 1 / ص -233232)
(
وَضَمُّ التَّلَفُّظِ إلَى الْقَصْدِ أَفْضَلُ ) لِمَا فِيهِ مِنْ
اسْتِحْضَارِ الْقَلْبِ لِاجْتِمَاعِ الْعَزِيمَةِ بِهِ قَالَ مُحَمَّدُ
بْنُ الْحَسَنِ : النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا
بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَلُ .
وَفِي
الْقُنْيَةِ أَنَّهَا بِدْعَةٌ إلَّا إذَا كَانَ لَا يُمْكِنُهُ
إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ
فَحِينَئِذٍ تُبَاحُ
“(Mengumpulkan melafadzkan niat
kepada Qoshdu (niat) itu lebih utama) karena hal tersebut bisa
menghadirkan hati untuk mengumpulkan Azimah (niat). Muhammad bin Al
Hasan berkata : Niat dengan hati itu wajib dan menyebutknya dengan lisan
itu sunnah, sedangkan mengumpulkan keduanya (hati dan lisan) adalah
Afdhol (lebih utama). Namun di dalam kitab Qunyah hal tersebut adalah
bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat
di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan maka
menjadi mubah.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat Juz 1 hal. 393, Makktabah Syamilah :
شرح منتهى الإرادات - (ج 1 / ص 393)
وَتَلَفُّظُهُ بِمَا نَوَاهُ تَأْكِيدٌ
"Sedangkan pelafadz-an seseorang dengan apa yang diniatkannya adalah merupakan ta'kid (penguat)."
Berkata Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hambaliy di dalam kitab Al Mughniy :
المغني - (ج 2 / ص 319)
وَإِنْ لَفَظَ بِمَا نَوَاهُ ، كَانَ تَأْكِيدًا .
Apabila
seseorang yang sholat melafadzkan apa yang diniatinya, maka hal
tersebut menjadi Ta’kid (penguat) (Al Mughniy Juz 2 hal 319, Maktabah
Syamilah).
KESIMPULAN DARI SEMUA KETERANGAN ULAMA DIATAS
: Tujuan dari melafadzkan niat adalah agar lisan dapat menghadirkan dan
mengingatkan hati, yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari
was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan
ulama yang mewajibkannya, karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya
adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah dipergunakan untuk ta’kid
yaitu penguat apa yang diniatkan.
ISTINBATH HUKUM DARI ULAMA YANG MENYUNAHKAN MELAFDZKAN NIAT
Ulama
yang menyunahkan melafadzkan niat kketika akan sholat menqiyaskan
dengan melafadzkan niat dalam ibadah Haji, sebagaimana kita ketahui
dalam hadis, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam melafadzkan niat
ketika menunaikan ibadah Haji :
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم(
“Dari
sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan
“Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan
haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I
halaman 551, Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat
mendengar Rasulullah SAW mengucapkan :
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
Redaksinya begini :
فقه السنة - (ج 1 / ص 654(
روى واحد منهم: أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول: " نويت العمرة، أو نويت الحج ".
CATATAN
: Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat diatas ketika beliau
menjalankan ibadah haji, namun sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah
lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan
melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat
dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari
Talaffudz binniyah (melafadzkan niyat) ketika akan mengerjakan sholat.
Hal
ini, sebagaimana juga dikatakan oleh Al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar
al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
تحفة المحتاج في شرح المنهاج -
(
وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ )
لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ
وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ الْمُنْدَفِعِ
بِهِ التَّشْنِيعُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
“Dan disunnahkan
melafadzkan (mengucapkan) niat sesaat sebelum takbir, agar lisan dapat
membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya
walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syadz ( menyimpang), dan
Kesunnahan ini juga karena diqiyaskan terhadap adanya
pelafadzan dalam niat haji yang bisa digunakan untuk menolak adanya
celaan bahwa kesunahan ini tidak di nukil (dari hadis) ”
Didalam
kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah
(1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan :
نعم
يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها
في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
"Ya, disunnahkan mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, karena
sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam mengucapkan
niat dalam ibadah haji, maka kami menqiyaskannya ke dalam Ibadah-ibadah
yang lain, sedangkan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan
atas ketiadaan terjadinya"
Redaksi
melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz
Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :
معجم ابن المقرئ -
317
- أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في
الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله
أكبر »
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah,
mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika akan masuk
dalam Shalat berkata : “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah,
menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.”
Perlu diketahui bahwa Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“Selamanya
seseorang tidak boleh mengatakan di dalam sesuatu, baik hukum halal
maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah
al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku
(Imam Syafi'i berkata) : Jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan
As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya di dalam Al-Qur'an maka
ini adalah hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya di dalam as-Sunnah
maka ini hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu
sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Jadi
maksud perkataan Imam Syafi'i diatas adalah dinamakan qiyas jika memang
tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada
dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas.
Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya
secara shorih di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan
niat shalat yang dilakukan sebelum Takbiratul Ihram adalah amalan
sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sunnah dalam pengertian ilmu
fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila
ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat shalat tetaplah sah,
sedang melafadzkan niat saja tanpa meniatkan dalam hati maka tidak
mencukupi (tidak sah sholatnya), karena tempatnya niat adalah di dalam
hati. Maka melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan
tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat (karena dilakukan
sebelum mengerjakan sholat, yaitu Takkbirotul Ihram) sebagaimana
keterangan para ulama di bawah ini :
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“Apabila dia berniat dengan hati tanpa lisannya, maka hal tersebut sudah mencukupi”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, di dalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة) hal 101, Maktabah Syamilah :
كفاية الأخيار - (101)
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان مع غفلة القلب
“Ketahuilah
bahwa niat dalam semua ibadah di i’tibar dengan hati, maka tidak cukup
hanya dengan melafadzkan dengan lisan bersamaan dengan lupanya hati”
Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة dalam kitab Fiqhus Sunnah Juz 1 hal 133, Maktabah Syamilah :
فقه السنة - (ج 1 / ص 133)
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“Tempatnya niat adalah di dalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat :
)النِّيَةُ) وَهِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Namun
anehnya, nash-nash ibarat diatas ini sering di salah fahami oleh para
wahabi mengenai tidak diperbolehkannya melafadzkan niat. Mana ada kata
atau kalimat yang melarang melafadzkan niat dalam ibarat-ibarat diatas
??????
Dari semua paparan diatas, kita bisa mengetahui
bagaimana perbedaan pandangan ulama-ulama salaf dan ulama- ulama Wahabi
mengenai permasalahan melafadzkan niat ketika akan melaksanakan sholat.
Padahal selama ini kita sering mendengar klaim dan slogan Wahabi yang
selalu mengataskan madzhab dan manhaj mereka adalah mengikuti Salafush
Sholih. Pertanyaan : Lalu Salafus Sholih manakah yang diikuti oleh
Wahabi dalam permasalahan ini ??????
Wallohu A’lam
Ditulis oleh : Dodi El Hasyimi dari berbagai sumber
bismillah,,
ReplyDeleteklo gitu...tolong sampaikan dalil yang shohih tentang lafadz niat yang datang dari Rasulullah"karena kewajiban kita adalah mengikuti petunjuk,,bukan sekedar ikut2-an
kewajiban kita itu adalah mengikuti Rasulullah,,klo ada perkataan ulama yang menyelisi perkataan Rasulullah,siapa yang didahulukan ???ulama atau Rasulullah ??kita tidak diperintah untuk ta`ashub pada para ulama...
ReplyDelete