أن ابن الأثير روى أنه في سنة 447 هجرية وقعت ((الفتنة بين الفقهاء الشافعية والحنابلة ببغداد، ومقدم الحنابلة أبو علي بن الفراء، وابن التميمي، وتبعهم من العامة الجم الغفير، وأنكروا الجهر ببسم الله الرحمن الرحيم، ومنعوا من الترجيع في الأذان، والقنوت في الفجر، و وصلوا إلى ديوان الخليفة، ولم ينفصل حال، وأتى الحنابلة إلى مسجد بباب الشعير، فنهوا إمامه عن الجهر بالبسملة، فأخرج مصحفاً وقال: أزيلوها من المصحف حتى لا أتلوها )) - ابن الأثير : الكامل في التاريخ ، ج 8 ص: 325 .
Ibnu Atsir meriwayatkan bahwa pada tahun 447 Hijriyah telah terjadi ((Fitnah antara Fuqaha' Syafi'iyah dan Hanabilah di Baghdad, yang dimotori Ulama Hanabilah yaitu Abu 'Ali bin Al-Farra' dan Ibnu At-Tamimy dan para pengikutnya. mereka mengingkari mengeraskan bissmillahirrahmanirrahim (pada surat Al-Fatihah), melarang mengulangi adzan (ketika sholat jumat) dan membaca qunut pada sholat Subuh. mereka mendatangi Khalifah dan kasus ini tidak dapat dihentikan. Sampai2 Ulama hanabilah datang ke masjid Bab Asy-Sya'ir, mereka melarang mengeraskan bacaan basmalah. Salahsatu diantara mereka mengeluarkan sebuah mushaf Al-Qur'an dan berkata "hapuslah (bismillah) ini dari mushaf (al-Qur'an) sampai mereka tidak membacanya lagi)). [Ibnu Atsir , Al-kamil Fit Tarikh, Jilid 8 hlm. 325)
Sedangkan Ibnu Katsir (w. 774 H) bercerita tentang keadaan Baghdad pada tahun 447 H dlm Bidayah wan nihayah.
وفيها وقعت الفتنة بين الأشاعرة والحنابلة، فقوى جانب الحنابلة قوة عظيمة، بحيث إنه كان ليس لأحد من الأشاعرة أن يشهد الجمعة ولا الجماعات.
Disana terjadi fitnah antara Asya’irah dan Hanabilah, pihak Hanabilah memiliki kekuatan yang sangat besar. Sampai-sampai tak ada satupun Asya’irah yang boleh menghadiri Shalat Jum’at dan jama’ah.
Ibnu al-Atsir (w. 630 H) bercerita juga tentang keadaan Baghdad tahun 323 H.
وفيها عظم أمر الحنابلة، وقويت شوكتهم، وصاروا يكسبون من دور القواد والعامة، وإن وجدوا نبيذا أراقوه، وإن وجدوا مغنية ضربوها وكسروا آلة الغناء، واعترضوا في البيع والشراء، ومشى الرجال مع النساء والصبيان، فإذا رأوا ذلك سألوه عن الذي معه من هو، فأخبرهم، وإلا ضربوه وحملوه إلى صاحب الشرطة، وشهدوا عليه بالفاحشة، فأرهجوا بغداذ.
Disana [Baghdad] Hanabilah semakin kuat dan mempunyai kekuasaan. Mereka memainkan peran militer dan sipil. Jika mereka menemukan Nabidz [minuman yang dibuat dari perasan anggur atau kurma maka langsung dialirkan/dibuang, mereka memukul para penyanyi dan merusak alat musiknya. Jika ada seorang laki-laki dan wanita beserta anak-anak sedang berjalan bersama, maka lantas ditanya; siapakah itu?. Jika bisa menjawab, maka dilepaskan. Jika tidak, maka akan dipukul dan diserahkan ke polisi dan menuduhnya telah berbuat fakhisyah/ kejelakan.
Ceritanya, Hanabilah saat itu sedang memerankan polisi Syariah, yaitu ketika mempunyai cukup kekuatan di Baghdad.
Lebih lanjut, Ibnu al-Atsir menuliskan:
وزاد شرهم وفتنتهم، واستظهروا بالعميان الذين كانوا يأوون المساجد، وكانوا إذا مر بهم شافعي المذهب أغروا به العميان، فيضربونه بعصيهم، حتى يكاد يموت.
Fitnah itu semakin bertambah kejelekannya. Orang-orang awam yang berada di Masjid, ketika ada seseorang yang bermadzhab Syafi’i lewat depan mereka, maka akan dipukuli. Bahkan sampai hampir meninggal.
Begitulah kelakuan ulama' yang menyimpang dan sering buat ONAR, (Ibnu Katsir menyebutnya) para ulama Awam dari madzhab Hanabilah, seperti dalam kasus perseteruan Imam Ath-Thabary dengan Ulama' (awam) Hanabilah, yang sangat bencinya kepada Imam Ath-Thabary. (lihat Bidayah wan Nihayah).
Sedangkan para Fudhala’ al Hanabilah seperti Ibrahim al Harbi, Abu Dawud, al Atsram, Abu al Husen al Munadi, Abu al Hasan at-Tamimi, Abu al Fadl at-Tamimi, Abu al Khaththab, Ibnu ‘Aqil, Ibnu al Jawzi, Ibnu Balban (Muhammad ibn Badruddin ibn Balban ad-Dimasyqi al Hanbali dll. Mereka adalah ulama' hanabilah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW (Ahlussunnah wal Jama'ah), dan mereka sangat toleran pada khilafiyah furu'iyah.
Al Hafizh Abu Hafsh ibnu Syahin, salah seorang sahabat al Hafizh ad-Daraquthni, mengatakan:
"رَجُلاَنِ صَالِحَانِ بُلِيَا بِأَصْحَابِ سُوْءٍ، جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ".
“Ada dua orang saleh diberi ujian oleh Allah dengan pengikut-pengikut yang menyimpang; Ja’far ash-Shadiq dan Ahmad ibn Hanbal”. (Diriwayatkan dengan sanadnya oleh al Hafizh Abu al Qasim ibnu ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al Muftari, hal. 164)
Syi'ah Rafidlah mengaku sebagai pengikut al Imam Ja’far ash-Shadiq ibn Muhammad al Baqir dan mereka menisbatkan banyak masalah2 yang keji terhadapnya padahal ia sama sekali bersih dan terbebas dari masalah-masalah keji tersebut. Demikian pula Imam Ahmad ibn Hanbal, sebagian pengikutnya (yang awam) malah lebih suka membuat ONAR dan tidak toleran terhadap amalan orang (madzhab) lain, kalau sekarang mereka disebut sebagai SALAFI-WAHABI.
Wallahu A'lam.