Zaman globalisasi sudah tidak terhindari lagi. Globalisasi seolah
meruntuhkan tembok pemisah ruang dan waktu. Sehingga kejadian di belahan
bumi utara bisa diterima beberpa detik dibelahan bumi selatan.
Begitulah karakter globalisasi yang cenderung merusak berbagai
pelanggeran, termasuk di dalamnya juga berbagai pelanggaran keagamaan.
Sehingga di zaman globalisasi ini susah
sekali membedakan antara alim(orang yang mengerti) dan jahil (orang yang
tidak mengerti), antara faqih dan bukan faqih, antara mufassir (ahli
tafsir) dan mengaku-ngaku ahli tafsir.
Demikianlah keadaannya,
berbagai informasi dan pengetahuan dengan mudah dapat diakses di dunia
cyber (internet). Bahkan yang memperparah keadaan adalah banyaknya orang
yang menjadikan dunia maya (internet)sebagai seorang guru tempat
bertanya dan mencari tahu. Dan celakanya dari guru (dunia maya) inilah
mereka lalu menyebarkan apa yang di dapatnya kepada murid-muridnya.
Sungguh mereka ini adaah kelompok yang sesat dan menyesatkan.
Memang, tidak semua yg ada di internet adalah tidak benar. Banyak
sekali kebenaran yang terserak di sana, akan tetapi kebenaran itu belum
teruji dan masih perlu diferifikasi lebih lanjut. Karena bagaimanapun
internet bukanlah guru yang memiliki sanad yang jelas, bahkan internet
sering menjadi penyebar hal-hal negative. Alih-laih membawa berkah,
internet banyak sekali memberi musibah. Bagaimana bisa menjadikan
seorang yang menyebabkan musibah sebagai seorang guru? Sungguh terlalu.
Oleh karena itu, keberadaan globalisasi dan internet yang tidak dapat
dihindarkan harus diposisikan yang benar dan member manfaat. Sebagaimana
pisau ditangan tukang masak bukan di tangan preman. Demikianlah yang
dilakukan oleh Rasulullah saw. yang berguru langsung kepada Jibril.
Demikianlah tuntunan agama yang baik sebagaimana dilanutnkan dalam
sya’ir:
ومن يأخذ العلم من شيخ مشافهة # يكن عن الزيغ والتصحيف فى حرم
ومن يكن أخذا للعلم من صحف # فعلمـــه عند أهــــــــل العلم كالعدم
Barangsiapa yang mengambil ilmu dari seorang guru dengan musyafahah
(berhadap-hadapan langsung), niscaya terpeliharalah ia dari pada
tergelincir dan jeliru. Dan barangsiapa mengambil ilmu dari buku-buku
(apalagi internet), maka pengetahuannya menurut penilaian ahli ilmu
adalah nihil semata.
Demikianlah seharusnya memposisikan
internet sebagai media yang harus dikonfirmasi kembali berbagi informasi
di dalamnya. Tidaklah layak langsung ditelan, tetapi harus dimasak
lebih dahulu.
Sayang sekali, banyak sekali orang terlalu tinggi
ego dalam dirinya sehingga malu bertanya dan enggan mengakui orang lain
sebagai gurunya yang lebih tahu. Jika sudah demikian maka percuma
berbagai nasehat, karena keinkarannya lebih kuat dari pada keinginan
untuk belajar.
المنكر لايفيده التطويل ولو تليت عليه التوراة والانجيل
Tidaklah bergua berpanjang keterangan dan kalam bagi orang yang relah inkar, walaupun dibacakan taurat dan inji.