Apakah Seorang wanita boleh atau tidak Memegang atau membaca Mushaf (Al-quran) ketika masa haid?
tentang wanita yang haid itu ada 10 yang tidak boleh dilakukan (Haram).
(فصل) من انتقض وضوؤه حرم عليه أربعه أشياء: الصلاة والطواف ومس المصحف
وحمله. ويحرم على الجنب ستة أشياء: الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث
في المسجد وقراءة القرآن. ويحرم بالحيض عشرة أشياء: الصلاة والطواف ومس
المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن والصوم والطلاق والمرور في
المسجد إن خافت تلويثه والاستمتاع بما بين السرة والركبة.
10 HAL HARAM BAGI ORANG HAID
1 Shalat
2 Thawaf
3 Memegang al-Qur'an
4 Membawa al-Qur'an
5 Berdiam didalam Masjid
6 Membaca al-Qur'an
7 Puasa
8 Thalaq (cerai)
9 Berjalan didalam Masjid
10 Bersenang-senang (jima' atau lainnya, pen) antara pusar dan lutut.
Di dalam Al-quran sendiri ada ayat seperti ini
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
Artinya:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)
يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ
maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh
menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci
dari hadats besar atau kecil.
Di dalam hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya
dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat
kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:
لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)
Sanad hadits ini di dho’if kan sebagianulama mereka ?????, Dan ternyata
memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li
ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)
Kemudian sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:
لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ
“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al
Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari
Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)
Anda bisa memilah-milah sendiri nantinya Mana yang tepat menurut anda,
Sekarang mari kita buat perbandingan yang mendasar Antara pendapat imam
Madzhab dan ulama-ulama yang baru uncul dan gemar menahrif
(merubah-rubah) isi kitab
Ulama ahli tahrif membolehkan Untuk menyentuh maupun membaca nya berdasarkan :
Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa
setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad
shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka
bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath
Thobari XI/659).
Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:
1. Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat
Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ ,
Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam,
dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)]
2. Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan
(malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi
disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath
Thobari XI/659)
Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab
Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan
Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak
najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis
berdasarkan hadits:
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)
Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang
tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan
tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik
sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya
orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28).
Kemudian mereka (Ahli tahrif) mengutip perkataan Syaikh Nashiruddin Al
Albani, ini adalah salah satu nya ulama wahabi. yang berbunyi : “Yang
paling dekat -Wallahu a’lam- maksud “orang yang suci” dalam hadits ini
adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita
haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda
beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan
hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits
ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang
suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik
untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:
نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو
“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah
musuh.” (Hadits riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan
Seputar Wanita Haid dari Tamamul Minnah, hal. 107).(titik)
Saya menanggapi hal ini kenapa Kaum wahabi sangat ricuh dalam
permasalahan syar’i, mereka membawakan hadist (“Orang mu’min itu
tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)) membawa hadist tidak melihat
ashabul wurud nya yang mana hadist tersebut di ucapkan Nabi bukan untuk
orang yang haid, hadist itu menjelaskan tentang amm (keumumam) jasad
orang mu’min itu sendiri seccara dhohri (fisik)
Berbeda dengan orang yang menanggung hadas dalam segi ruhani, pendapat
yang memperbolehkan memegang dan membaca al-quran jikalau berdasarkan
(“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)) ini akan
bertentangan dengan hukum-hukum lain, praktis saja misalnya mengapa
orang mau melaksanakan sholat kok harus berwudhu terlebih dahulu?
Padahal orang mu’min itu tidak najis....!
Berbeda dengan dasar-dasar mazhab Maliki yang memperbolehkan bagi
wanita yang sedang haid dan nifas membawa, menyentuh dan membaca
al-Qur’an ketika dalam rangka mengajar atau belajar. Menurut mereka,
karena kondisi ini dalam keadaan darurat, juga dengan alasan bahwa
Sayyidatina Aisyah r.a pernah membaca al-Qur’an dalam keadaan sedang
haid. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar
ulama. Sebab, apa yang dilakukan oleh Aisyah r.a. tersebut―jika
riwayatnya dianggap shahih―bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca
al-Qur’an bagi orang yang sedang haid, karena bertentangan dengan sabda
Nabi di atas yakni yang ini “Orang junub dan wanita haid tidak boleh
membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah
dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)
Janganlah sesekali kalian itu mengambil perhukuman-perhukuman syar’i
langsung menyimpulkan dalam hadist, sebab kita ini hanyalah muqhollid
mutlak ( yang mengikuti madzhab ) saja,
Kenapa kok hanya mengikuti saja? Jawabnya : (a) karena kita ini jauh
untuk mendekati peringkat mujtahid, Berapa ribu Hadist sih yang kita
hafal kok kita mau berijtihad sendiri?, (b) Karena mau atau tidak,
tetaplah kita ini bukan hidup di masa Nabi. (c) ketika kita berpikir
mengapa harus menemui masa Nabi, bukankah hadist-hadist itu sudah
termaktub (tertulis dengan jelas)?Ketika anda berpikir seperti itu
seharusnya anda juga berpikir Mengapa yang mempunyai hadist paling
shohih (Imam Bukhori) Masih mengkuti Madzhab syafi’i? Ach masa iya ta?
ومن هذا القبيل محمد بن إسماعيل البخاري فانه معدود في طبقات الشافعية وممن
ذكره في طبقات الشافعية الشيخ تاج الدين السبكي وقال إنه تفقه بالحميدي
والحميدي تفقه بالشافعي
"dan merupakan bagian dari kelompok ini (madzhab ini) adalah al-Imam
Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, sesungguhnya beliau termasuk jajaran
Ulama Syafi'iyyah. dan sebagian Imam yang juga disebutkan dalam Thabaqat
Syafi'iyyah adalah al-Imam Tajuddin as-Subki. Sesungguhnya beliau
belajar fiqh dari al-Imam al-Humaidiy, sedangkan al-Imam al-Humiadiy
belajar fiqh dari al-Imam Syafi'i. "
وممن ذكره السبكي في طبقاته الشيخ أبا الحسن الأشعري إمام أهل السنة
والجماعة وقال إنه معدود من الشافعية فانه تفقه بالشيخ أبي إسحق المروزي
انتهى قول ابن زياد
termasuk jajaran Ulama Syafi'iyyah adalah al-Imam Abu al-Hasan
al-Asy'ariy Imam ahlussunnah wal Jama'ah, beliau belajar fiqh dari
al-Imam Abi Ishaq al-Maruziy, selesai penjelasan dari Ibnu Ziyad.
Next..... Bukan ini fokus pembasan nya, itu hanyalah sedikit
perbandingan saja Untuk lebih jelasnya masalah imam bukhori yg
bermadzhab syafi’iyah nanti akan saya uraikan
Kita kembali pada titik pembahasan. Mengalami pendarahan haid memang
lumrah dan biasa bagi kaum Hawa, karena haid merupakan ketetapan dari
Allah SWT. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim, Rasulullah SAW menyatakan, “Ini (haid) adalah suatu ketetapan
Allah bagi putri-putri keturunan Adam.” Dalam kaitan dengan agama, haid
tidak hanya dipandang sebagai siklus bulanan, lebih dari itu haid
sebagai persoalan penting karena juga terkait dengan aktifitas ibadah.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih bahwa di antara hal yang
diharamkan bagi wanita haid adalah membawa dan membaca al-Qur’an.
Termasuk juga bagi penyandang hadats besar. Namun kemudian, hukum ini
menjadi dilema ketika wanita yang mengalami pendarahan haid lalu
bagaimana jika seorang hafidzah (penghafal al-Qur’an). Juga ketika ia
adalah seorang guru al-Qur’an bagi anak-anak kecil atau seorang pelajar
agama yang di dalam pelajarannya terdapat ayat-ayat suci al-Qur’an.
Sebab, jika aktifitas itu ditinggalkan, tentunya telah mengabaikan
kewajiban menjaga hafalan dan belajar agama.
Pada dasarnya muslim/muslimah dianjurkan untuk membaca al-Qur’an, karena
membaca al-Qur’an merupakan bagian dari ibadah. Hanya saja, untuk
membaca al-Qur’an disyaratkanbersuci terlebih dahulu dari hadats, baik
hadats kecil maupun hadats besar. Nah, orang yang sedang haid atau nifas
adalah termasuk orang yang sedang menanggung hadats, oleh karenanya
tidak boleh membaca al-Qur’an. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Orang
yang sedang haid atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari al-Qur’an.”
(HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Pada dasarnya keharaman membaca al-Qur’an bagi penyandang hadats besar,
termasuk wanita haid, ketika ada niatan membaca al-Qur’an. Jika tidak
ada niatan membaca al-Qur’an, seperti niat berdzikir maka baginya tidak
diharamkan. Dari kata kunci inilah dari beberapa pembahasan dalam bab
haid disebutkan tentang kebolehan membaca al-Qur’an bagi wanita haid
ketika diniati berdzikir.
Dengan demikian, bagi pengajar al-Qur’an, seperti guru TPQ diperbolehkan
mengajarkan al-Qur’an bagi anak didiknya. Asalkan ketika membaca tidak
berniatan membaca al-Qur’an dan tidak menyentuhnya. Juga diperbolehkan
ketika bahan mengajar dengan cara memutus-mutus antar kalimat atau
mengeja. Ini pun jika mengikuti pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i.
Selanjutnya bagaimana dengan siswi yang sedang mengalami haid? Bukankah
ada buku pelajaran atau kitab yang di antara isinya adalah ayat-ayat
al-Qur’an? Untuk hal ini, status hukumnya dipilah meninjau keadaan buku
pelajarannya; jika hanya buku pelajaran yang di dalamnya terdapat ayat
al-Qur’an menurut pendapat yang shahih, diperbolehkan membawa dan
menyentuhnya asalkan bukan hanya pada ayat al-Qur’annya. Oleh karena
itu, jika sedang menulis al-Qur’an harus menghindari jangan sampai
menyentuh tulisannya.
Kebolehan menyentuh buku pelajaran yang berisikan al-Qur’an ini
sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi. Menurut beliau, orang yang
hadats, junub, haid dan nifas menyentuh kitab-kitab fikih atau lainnya
yang berisikan ayat-ayat suci al-Qur’an menurut madzhab yang shohih
diperbolehkan. Meskipun , Imam an-Nawawi sendiri tidak mengingkari ada
ulama yang tetap mengharamkannya.
Hukum ini berbeda dengan kitab tafsir yang memang lebih banyak
al-Qur’annya dari pada penafsirannya. Jika demikian maka menyentuh dan
membawanya adalah haram. Jika lebih banyak keterangannya dari pada ayat
al-Qur’annya maka ulama khilaf dan menurut ashah hukumnya boleh dan yang
lain mengatakan haram. Ada pula yang memilah; jika antara al-Qur’an dan
lainya ditulis tersendiri atau dibedakan dengan warna maka hukumnya
haram dibawa dan disentuh oleh orang yang menyandang hadats; jika tidak
dibedakan maka hukumnya boleh.
Hukum lain yang terkait adalah wanita yang sedang haid dan ia adalah
seorang yang hapal al-Qur’an (hafidzah), padahal ia dituntut untuk terus
men-takrar hapalannya. Juga sama dengan persoalan di atas yang
berhubungan dengan niat. Ia diperkenankan untuk membaca al-Qur’an,
meskipun dalam keadaan haid, asalkan tidak diniatkan membaca al-Qur’an
atau berniatan hanya untuk melekatkan hapalannya. Atau hanya membaca di
dalam hati, sampai tidak mengeluarkan suara yang dapat didengar sendiri.
Hal yang perlu diketahui bahwa pengertian membaca di sini adalah
mengucapkan ayat-ayat al-Qur’an melalui mulut, baik dengan melihat
mushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalkan.
Ukurannya, seseorang disebut membaca jika dari mulutnya terdengar suara
yang bisa didengar sendiri. Apabila orang yang sedang haid/nifas
tersebut hafal ayat-ayat al-Qur’an kemudian membacanya dalam hati, maka
yang demikian itu diperbolehkan.
Sementara itu, Habib Ahmad bin Umar asy-Syathiri mengatakan bahwa
perempuan haid diperbolehkan membaca al-Qur’an, dan hukum ini berlaku
bagi perempuan yang hafidzah dengan alasan mempermudah mereka untuk
menghafal al-Qur’an dan biar hafalannya tidak lemah.
Sampai di sini kita ketahui bahwa hukum wanita haid terdapat perbedaan
ulama terkait dengan hukum membaca al-Qur’an. Kita anggap perbedaan ini
sebagai rahmat sehingga dapat dijadikan solusi ketika merasa kesulitan
karena ingin menjaga hafalan, belajar agama atau mengajarkan al-Qur’an