MEMPERINGATI HARI KEMERDEKAAN

Diposkan oleh Label: di
Memperingati Hari Kemerdekaan

Kami, umat Islam Indonesia saat ini, merasa bahwa kemerdekaan bangsa sejak 1945 adalah sebagai nikmat, anugerah, kemenangan dan pertolongan dari Allah, sebagaimana pertolongan dan kemenangan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw dalam pembebasan kota Makkah:


وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ [الصف/13]


“Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (al-Shaf: 13)

Ulama-ulama kami, para pendahulu kami telah banyak yang gugur sebagai Syahid, baik para kiai yang tergabung dalam Hizbullah, Sabilillah dan pasukan lainnya di masa penjajahan Belanda. Kemenangan dan selamatnya bangsa dari penjajahan abadi adalah nikmat besar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Khatib al-Syirbini al-Syafii:


ْحُدُوْثُ " نِعْمَةٍ " كَحُدُوْثِ وَلَدٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ مَالٍ أَوْ قُدُوْمِ غَائِبٍ أَوْ نَصْرٍ عَلَى عَدُو " أَوِ انْدِفَاعِ نَقْمَةٍ " كَنَجَاةٍ مِن حَرِيْقٍ أَوْ غَرَقٍ (مغني المحتاج - ج 1 / ص 214)


“Nikmat yang baru datang adalah seperti lahirnya anak, naik jabatan, harta, datangnya saudara, pertolongan dari musuh. Juga selamat dari siksa, seperti selamat dari terbakar dan tenggelam” (Mughni al-Muhtaj 1/214)

Peringatan Setiap Tahun


Mengapa kami memperingati kemerdekaan setiap tahun? Saya kutipkan metode istidlal ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii tentang bolehnya mengamalkan amaliah Maulid setiap tahun sebagai nikmat dan anugerah lahirnya seorang Nabi Muhammad Saw.
Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَسَأَلَهُمْ ؟ فَقَالُوْا هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَى مُوْسَى فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى


"Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah, beliau menjumpai kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura' (10 Muharram), kemudian Nabi menanyakan kepada mereka? Mereka menjawab: Asyura' adalah hari dimana Allah menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa pada hari Asyura' sebagai bentuk syukur kepada Allah"

al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii berkata:


فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيْرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ وَالشُّكْرُ لِلهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُوْدِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ (الحاوي للفتاوي للسيوطي - ج 1 / ص 282)


“Dari hadis ini bisa diambil satu faidah diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dari-Nya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulang kali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah dan membaca al Quran.” (al-Hawi li al-Fatawi, al-Hafidz al-Suyuthi, 1/282)

Upacara Bendera
Mengenai upacara bendera, kita lihat dahulu posisi bendera di masa Nabi Muhammad Saw:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَايَةَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَكُوْنُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَرَايَةُ الْأَنْصَارِ مَعَ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَكَانَ إِذَا اسْتَحَرَّ الْقِتَالُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يَكُوْنُ تَحْتَ رَايَةِ الْأَنْصَارِ. )رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح غير عثمان بن زفر الشامي وهو ثقة. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق - ج 5 / ص 386)
 

 “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa bendera Nabi Saw bersama Ali bin Abi Thalib dan bendera Ansor bersama Sa’d bin Ubadah. Jika perang telah memanas maka Nabi termasuk orang yang berada di bawah bendera Ansor” (HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih, selain Utsman bin Zufar al-Syami, ia perawi terpercaya)

Dalam hadis ini sudah jelas Nabi membenarkan posisi bendera berada diatas. Terbukti Nabi berada di bawah bendera Ansor. Mengenai tujuan dan fungsi bendera, disampaikan oleh Ibnu Khaldun berikut ini:


وَأَمَّا تَكْثِيْرُ الرَّايَاتِ وَتَلْوِيْنُهَا وَإِطَالَتُهَا فَالْقَصْدُ بِهِ التَّهْوِيْلُ لَا أَكْثَرُ وَرُبَّمَا يَحْدُثُ فِي النُّفُوْسِ مِنَ التَّهْوِيْلِ زِيَادَةٌ فِي اْلإِقْدَامِ، وَأَحْوَالُ النُّفُوُسِ وَتَلَوُّنَاتُهَا غَرِيْبَةٌ. وَاللهُ الْخَلَّاقُ الْعَلِيْمُ. ثُمَّ إِنَّ الْمُلُوْكَ وَالدُّوَلَ يَخْتَلِفُوْنَ فِي اتِّخَاذِ هَذِهِ الشَّارَاتِ، فَمِنْهُمْ مُكَثِّرٌ وَمِنْهُمْ مُقِلٌّل بِحَسَبِ اتِّسَاعِ الدَّوْلَةِ وَعِظَمِهَا. فَأَمَّا الرَّايَاتُ فَإِنَّهَا شِعَارُ الْحُرُوْبِ مِنْ عَهْدِ الْخَلِيْقَةِ، وَلَمْ تَزَلِ الْأُمَمُ تَعْقِدُهَا فِي مَوَاطِنِ الْحُرُوْبِ وَالْغَزَوَاتِ، لِعَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْخُلَفَاءِ. (مقدمة ابن خلدون - ج 1 / ص 138)


“Memperbanyak bendera, mewarnainya dan meninggikannya, tujuannya adalah ‘menggetarkan’, tidak lebih dari itu. Terkadang memang terbersit dalam jiwa untuk lebih maju. Kondisi perasaan hati dan macam-macamnya berbeda-beda. Allah yang maha menciptakan dan maha mengetahui. Kerajaan dan negara berbeda-beda dalam menjadikan simbol ini, ada yang memperbanyak, ada pula yang sedikit, tergantung luas dan besarnya negara tersebut. Bendera adalah syiar dalam perang sejak masa Khalifah. Dan umat Islam terus-menerus menggunakan bendera di tempat-tempat peperangan sejak masa Nabi dan para Khalifah” (Muqaddimah Ibni Khaldun 1/138)

Bendera hanya sebuah simbol negara, kami yang mengangkat tangan berhormat bukan lantaran menyembah bendera. Hormat tangan kami tidak lain adalah bentuk syukur kepada Allah yang telah memerdekakan negara Indonesia, dengan simbol warna merah-putih. juga untuk membangkitkan semangat juang kami agar negara ini tak dijajah lagi, sekaligus menambah cinta tanah air kami, sebagaimana Rasulullah mengajarkan cinta tanah air, Makkah dan Madinah:


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (رواه البخارى)


Rasulullah berdoa: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kepada Makkah” (HR al-Bukhari)

Oleh: Ustadz Ma'ruf Khozin
Post a Comment

Back to Top