Pada acara diskusi live yang diadakan di lokasi kantor Kemenag- Batam
antara pihak salafi yang diwakili oleh Ustadz Zainal Abidin dan ustadz
Firanda dan pihak Aswaja yang diwakili oleh ustadz Idrus Romli dan KH
Thabari Syadzili, banyak sekali respon dan komentar para pendengar dan
penyimaknya dari masing-masing pihak. Topic yang menjadi pembahasan
dialog saat itu adalah :
- Ma’na dan hukum Bid’ah
- Hukum Talaffudz dengan niat dan Qunut
- Tahlilan, Yasinan dan dzikir bersama
- Ziarah kubur, Tabarruk dan wasilah
Dialog yang disampaikan pihak salafi, perlu kiranya saya luruskan dan
saya tanggapi karena banyak syubhat dan tadlis yang dilontarkan mereka
dan juga sebagai tambahan pencerahan bagi kita semua insya Allah.
Di awal pembicaraan ustadz Zainal menyinggung soal prinsip NU sebagai
pengawal syare’at Islam secara murni. Rupa-rupanya ia ingin meniyindir
warga NU baik ulama maupun awamnya yang menurut asumsinya NU
bertentangan dengan prinsipnya sendiri dan ust Zainal mengira warga NU
tidak prihatin dengan bid’ah dalam Agama, warga NU acuh tak acuh
terhadap persoalan bid’ah, meskipun ada prinsip dalam NU yang mengecam
perbuatan bid’ah, bagi ust Zainal label NU sebagai pengawal syare’at
Islam secara murni itu tidak pas buat NU, karena faktanya justru
sebaliknya. Inilah yang ingin disinggung dan disampaikan oleh ustz
Zainal dalam sesi perdananya itu.
Tanggapan :
Pada Point pertama sesi pertama, pihak salafi lepas dari topic
pembicraan yang seharusnya membicarakan makna dan hukum bid’ah, akan
tetapi ust zainal langsung menyinggung pada persoalan kasusnya langsung.
NU sebagai pengawal syare’at Islam secara murni memanglah benar,
benar dalam persepsi kebenaran bukan persepsi perorangan terlebih
persepsi sekte wahabi yang menyempal dari Ahlus sunnah. NU merupakan
payung dari sekian payung untuk mengayomi warga Ahlus sunnah wal Jama’ah
di Indoensia dari derasnya hujan penyimpangan aliran sempalan yang ada
khususnya dari kaum wahabi yang menyempal dari prinsip tawasuth Ahlus
sunnah.
Berbicara soal bid’ah yang disinggung salafi dalam diskusi itu, kaum
Ahlus sunnah Indonesia sejak masa wali songo hingga saat ini masih
tetap memegang prinsip-prinsip mulia wali songgo yaitu nilai-nilai
santun dan penuh etika dalam menghadapi berbagai macam karakter dan
budaya yang ada bagi bangsa Indonesia.
Dengan sikap kearifan dan kecerdikan wali sanga yang dalam dakwahnya
bisa memposisikan budaya sebagai jembatan dakwah, sehingga mampu
membumikan ajaran-ajarannya di hamparan bumi Nusantara sampai dewasa
ini. Sebaliknya seandainya da’i-da’i datangnya dari kalangan
wahabi-salafi, Maka niscaya sedikit sekali orang yang masuk Islam, atau
Islam akan dikenal ekstrem, radikal atau mungkin Islam tak akan dikenal
hingga saat ini oleh bangsa Indonesia. Kenapa? Karena sudah pasti salafy
wahhaby tidak akan mentolerir budaya apa saja yang ada dan berkembang
saat itu. Mereka tidak akan bisa menghargai budaya bangsa bahkan akan
memaksa membumi hanguskannya.
Ustaz Zainal menampilkan buku terjemahan yang menceritakan dialog
sunan Ampel dan sunan Qudus, untuk membuktikan bahwa warga NU tidak
menuruti kemauan sunan Ampel dan sunan Qudus. Berikut nukilannya :
Sunan Ampel bertanya atas usulan sunan
Kali Jogo : “ Apakah adat-istiadat lama itu nantinya tidak
mengkhawatirkan bila dianggap ajaran Islam, padahal yang demikian itu
tidak ada dalam ajaran Islam, apakah hal ini tidak akan menjadikan
bid’ah ? “
Kemudian ust Zainal berasumsi dengan
mengatasnamakan sunan Ampel dengan katanya “ Sesuatu yang tidak ada
dalam ajaran Islam menurut sunan Ampel itu bid’ah “
Sunan Qudus menjawab : “ Saya setuju
dengan pendapat sunan Kali Jogo, sebab ada sebagian ajaran agama Budha
yang sama dengn ajaran Islam yaitu orang kaya harus menolong orang
miskin. Adapun mengenai kekhawatiran kanjeng sunan Ampel saya mempunyai
keyakinan bahwa di belakang nanti aka nada orang Islam yang akan
menyempurnakan “.
Ust Zainal mengomentari, “ Bukan mempertahankan bid’ah, ini kenginan sunan Ampel “.
Jawaban saya :
Seandainya cerita itu benar nisbatnya kepada sunan Ampel, sunan kali
jogo dan sunan qudus, maka yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak
ada dalam ajaran Islam yang bertentangan dengan pokok-pokok syare’at
Islam adalah bdi’ah yang harus ditolak. Sebagaimana pemahaman jumhur
ulama Ahlus sunnah. Bukan sebagaimana pemahaman salafi tersebut.
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan :
المحدثات من الأمور ضربانأحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة
“Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorangpun mengenainya bahwa hal baru ini tidak tercela..”[1]
Lebih jelas lagi Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :
والمراد بالبدعة: ما أحدث ممّا لا أصل له في الشريعة يدل
عليه، فأمّا ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعًا، وإن كان
بدعة لغة
“ Yang dimaksud dengan bid’ah adalah : Segala perkara baru yang
tidak ada asalnya dalam syare’at yang menunjukkan atasnya. Adapun
perkara baru yang ada asal dari syare’at yang menunjukkan atasnya, maka
bukanlah bid’ah dalam segi syare’atnya, walaupun itu bid’ah dalam segi
bahasanya “. [2]
Pemahaman ini telah sesuai dengan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata, “ Rasulullah bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak bersumber darinya (syare’at), maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”,
artinya “ Yang tidak bersumber dari Agama ”, bahwa perkara baru yang
tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara
baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak
tertolak.
Adapun ucapan sunan Qudus : “ Saya
setuju dengan pendapat sunan Kali Jogo, sebab ada sebagian ajaran agama
Budha yang sama dengn ajaran Islam yaitu orang kaya harus menolong orang
miskin. Adapun mengenai kekhawatiran kanjeng sunan Ampel saya mempunyai
keyakinan bahwa di belakang nanti aka nada orang Islam yang akan
menyempurnakan “.
Ustadz Zainal salah menanggapinya, ia berasusmi bahwa adat istiadat
itu harus dimusnahkan, padahal bukan itu yang dimaksudkan oleh sunan
Qudus. Yang dimaksud menyempurnakan adalah bukan membumi hanguskan
tradisi atau adat istiadat tersebut, karena sudah jelas makna
menyempurnakan (itmam) secara bahasa maupun istilah adalah menambah
dengan sesuatu yang lebih baik sehingga menjadi sempurna tidak kurang
atau pun cacat.
Renungkanlah hadits-hadits berikut ini :
Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاك
” Sesunngguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia “. (HR. Baihaqi)
Dalam hadits tersebut Nabi Saw menegaskan untuk menyempurnakan akhlak
karimah yang juga berarti budaya, tradisi dan adat masyarakat. Bukan
malah melenyapkan atau membungi hanguskannya.
Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة وخالق الناس بخلق حسن
” Bertaqwalah kepada Allah di manapun kamu berada, susullah
kejelakan dengan kebajikan yang biasa meleburnya dan berperilakulah
kepada orang lain dengan perilaku yang baik “. (HR. Turmudzi dan Hakim)
Apakah yang dimaksud dengan perilaku yang baik ? Sayyidina Ali bin
Abi Tholib saat ditanya tentang maksud perilaku yang baik dalam hadits
tersebut, belai menjawab :
هو موافقة الناس في كل شيء ماعداامعاصي
” (Maksud perilaku yang baik tersebut) adalah beradaptasi dengan masyarakat dalam setiap hal selama bukan maksyiat “.[3]
Kemudian populer menjadi peribahasa :
لولا الوئام لهلك الانام
” Andaikan tidak ada adaptasi (dalam pergaulan) niscaya manusia akan sirna “.
Kita tengok adat ritual kaum Musyrikin Jahiliyah dalam melakukan tawaf di Ka’bah :
أَمَّا الرِّجَالُ فَيَطُوْفُوْنَ عُرَاةً وَأَمَّا
النِّسَاءُ فَتَضَعُ اِحْدَاهُنَّ ثِيَابَهَا كُلَّهَا إِلاَّ دِرْعاً
تَطْرَحُهُ عَلَيْهَا ثُمَّ تَطُوْفُ فِيْهِ …. فَكَانُوْا كَذَلِكَ حَتَّى
بَعَثَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (السيرة النبوية لابن إسحاق 1 / 30)
“Para lelaki melakukan tawaf dengan telanjang. Sementara
perempuan, diantara mereka melepas seluruh pakaiannya kecuali baju
perang yang dilempar ke arahnya kemudian dikelilingi…. Hal itu terus
berlangsung hingga Allah mengutus nabi-Nya Saw” [4]
Setelah Islam datang, hal yang diluruskan adalah tatacara tawaf yang
sesuai Syariat, yaitu menutup aurat, dan bukan menghapus ritual tawaf
itu sendiri yang telah ada sejak masa Nabi Ibrahim As, sebagaimana dalam
firman Allah Swt al-A’raf: 31:
يَا بَنِيْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ
مَسْجِدٍ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلا تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِيْنَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
Ibnu Katsir berkomentar :
هَذِهِ اْلآيَةُ الْكَرِيْمَةُ رَدٌّ عَلَى
الْمُشْرِكِيْنَ فِيْمَا كَانُوْا يَعْتَمِدُوْنَهُ مِنَ الطَّوَافِ
بِالْبَيْتِ عُرَاةً كَمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ (3028) وَالنَّسَائِي (5/233). اهـ (تفسير ابن كثير 3 / 405)
“Ayat yang mulia ini adalah bantahan kepada kaum Musyrikin yang
melakukan tawaf di Ka’bah dengan telanjang, sebagaimana riwayat Muslim
(No 3028) dan al-Nasa’i (V/233)” [5]
Maka jelas, bahwa ajaran Islam mesti disampaikan dengan santun dan
menghargai budaya. Nilai-nilai toleransi, adaptasi dan pembauran pada
budaya dengan sendirinya akan membuat masyarakat mencintai Islam. Namun
perlu diingat pesan Sayyidina Ali ” Maa ‘adal ma’ashi “ yaitu
budaya atau tradisi yang bukan maksyiat. Artinya budaya atau tradisi
yang bisa ditoleransi dan dimaklumi adalah yang tidak bertentangan
dengan fitrah manusia sendiri dan tidak bersebrangan dengan nilai-nilai
agama. Sebagaimana definsi bid’ah yang dipaparkan imam Safi’i dan jumhur
ulama Ahlus sunnah.
Oleh sebab itu, diperlukan filter yang jelas agar budaya dan agama
dapat beriringan menuntun masyarakatnya kea rah yang benar. Yaitu filter
akidah dan filter amaliyah. Filter akidah menjadi factor utama karena
merupakan dasar keimanan pelaku budaya dan filter amaliah merupakan
penjelas suatu budaya bisa menemukan legalitasnya atau tidak.
Inilah prinsip wali sanga dalam berdakwa di negeri kita tercinta ini
yang sampai sekarang terus dilanjutkan oleh warga Ahlus sunnah dalam
payung NU.
Kesimpulan dalam point ini adalah :
1. Prinsip NU sangat sesuai dengan prinsip wali sanga.
2. NU baik ulama dan warganya, sangat tanggap dalam masalah bid’ah, bukan hanya salafi-wahabi saja.
3. Anggapan ustadz Zainal, bahwa ada sebagian orang beranggapan
masalah bid’ah hanya masalah wahabi salafi saja, ini tidaklah benar dan
hanya berdasarkan dugaan usta Zainal semata serta minimnya pemahaman
tentang makna bid’ah yang sesungguhnya.
4. Makna menyempurnakan adat-istiadat adalah menuntun masyarakat ke
arah yang benar dengan menanamkan nilai-nila agamanya bukan malah
melenyapkan tradisi tersebut selama konten tardisi itu tidak haram atau
maksyiat.
Point Kedua sesi pertama : Ustadz Zainal Abdidin langsung
menyinggung perosalan Tahlilan yang sebenarnya akan menjadi topic pada
sesi pembahasan ketiga. Mungkin maksudnya ia langsung membahas pokok
bid’ah yang dilakukan warga NU. Ia menukil redaksi dari kitab I’anah
Thalibin dengan sepotong-potong sebagai berikut :
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر
“Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga
si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan
diberi pahala bagi Penguasa yang mencegahnya “ (I’anatuth Thalibin, 2/165)
Tanggapan saya :
Entah disengaja atau tidak, ustadz Zainal sudah melakukan ketidak
jujuran dalam menukil redaksi tersebut. Dengan nukilan yang dicomot
secara sepotong itu, orang yang mendengarnya akan mengira bahwa
berkumpul di tempat keluarga mayyit dan memakan makanan yang disediakan
adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yang dimaksud
redaksi tersebut. Ustadz Zainal telah menggunting (menukil secara tidak
jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari
kalimat tersebut menjadi kabur. Ini suatu bentuk tadlis dan penipuan di
depan public..
Sekarang kita tampilkan redaksi utuh dan lengkapnya :
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل
الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام
بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن
بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه
العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.
فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي –
بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن
خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما
يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور…
Terjemahannya :
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan
(diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang
dilakukan oleh keluarga mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan
(juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran
(penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu
mengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di
negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk
seluruh manusia sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus
di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah
hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi keluarga mayyit maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa berat yang sangat.
Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya
terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang
(mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia)
kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia
yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga
shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan
untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang
disebutkan (pelarangan itu) ? berikan kami faedah jawaban yang
termaktub…
Kemudian dijawab :
(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله
وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله
الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب
على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين
“ Segala puji hanyalah bagi Allah, sholawat dan salam semoga Allah
curahkan bagi junjungan kita Nabi Muhammad serta keluarga, sahabat dan
orang-orang setelahnya yang mengikuti manhaj mereka. Ya Allah aku
memohon hidayah kebenaran dari-Mu..Ya apa yang dilakukan oleh manusia
dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan
makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang
mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya
kaidah-kaidah agama dan mendorong Islamd serta umat Islam ”.
Coba anda perhatikan, dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang
sedang disinggung termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan
pentakziyah menunggu makanan
(بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat keluarga yang terkena mushibah
kematian, juga usaha keras yang memberatkan keluarga mayit untuk
menghidangkan makanan tersebut, mereka merasa sangat malu jika tidak
menyiapkan makanan bagi para pentakziah yang sedang menunggu hidangan
makanan tersebut.
Dua kasus itu jelas melanggar etika dan sunnah dalam Islam, yang
seharusnya dilakukan para pentakziah adalah menghibur dan mendoakan
keluarga mayit agar bersabar dan mendapat pahala besar serta
menyumbangkan makanan bagi keluarga mayit supaya tidak terbebani yang
menjadikannya kesusahan di atas kesusahan. Dua ‘illat (alas an) inilah
yang menjadikan kasus tersebut menjadi bid’ah mungkarah.
Hal ini jika ustadz Zainal mau tabayyun mengkroscek ke lapangan
orang-orang yang melakukan tahlilan serta ikut menghadiri acaranya, maka
dua ‘illat di atas tidak akan ditemukannya. Justru fakta yang akan
ditemukan adalah di lingkungan warga baik NU ataupun lainnya ada sebuah
tradisi yang sangat kental dan mengakar dimana keluarga yang meninggal
mendapatkan bantuan dari tetangga dan kerabat dengan membawa beras
mentah dan santunan uang. Bahkan di teras rumah duka telah disiapkan
talam atau baskom besar yang ditutupi kain, untuk menampung uang
sumbangan dari tetangga dekat maupun jauh. Kemudian secara suka rela dan
tanpa dikoordinir, para tetangga membantu memasakkan hidangan untuk
keluarga yang ditinggal wafat dan untuk para pentakziyah, yang kemudian
di malam harinya mengadakan tahlil dan bersedekah atas nama orang yang
meninggal.
Fakta tradisi ini sama sekali tidak masuk dalam pertanyaan dan
jawaban dalam kitab I’aanah Thalibin tersebut bahkan sama sekali tidak
melanggar sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan justru telah sesuai
anjuran Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabda beliau :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ لَمَّا جَاءَ
نَعْىُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ
يُشْغِلُهُمْ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ (أحمد رقم 1751 وابو داود رقم 3134 وابن ماجه رقم 1610)
“Ketika sampai berita meninggalnya Ja’far saat terbunuh. Nabi Saw
bersabda: Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka telah
disibukkan dengan kesedihan” (HR Ahmad No 1751, Abu Dawud No 3134 dan Ibnu Majah No 1610)
Fakta dan realita ini telah diakui oleh Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, pengarang kitab Inarat al-Duja, saat menjawab pertanyaan tentang kebiasaan di Jawa saat takziyah dan tahlil pada hari-hari tertentu, berikut redaksinya :
اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا
مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا
ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ ِلاَهْلِهِ
وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ “اصْنَعُوْا ِلاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا”
وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ
اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ
فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ
سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ
سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا
يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ
دَفْنِهِ
“Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarga mayit dengan membawa beras mentah, kemudian
memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga
dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: ‘Buatkanlah makanan untuk
keluarga Ja’far’ dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam
pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk
mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah
kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa
pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang
mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama
40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan
memberi makan untuk orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman”[6]
Dengan realita ini, maka illat-illat yang menjadikan tradisi membuat
makanan bagi pentakziah itu bid’ah tercela sama sekali tidak ada, oleh
sebab itu hukumnya berubah malah menjadi bid’ah hasanah dan bahkan
sunnah karena telah sesuai anjuran Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam,
sesuai kaidah ushul fiqih :
الحكم يدور على علته وجودا وعدما
“ hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hokum”
Kesimpulan point kedua ini :
1. Ustadz Zainal Abidin telah melakukan ketidak jujuran dalam menukil
redaksi kitab I’aanah Thalibin. Ini merupakan bentuk tadlis dan
penipuan di depan public.
2. Tradisi membuat makanan untuk para pentakziah yang sudah lama
dilakukan warga NU dan lainnya, sama sekali tidak melanggar etika dan
sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak bisa divonis
bid’ah tercela.
Bersambung pada poin-point berikutnya insya Allah…
Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Kota Santri, 01-01-2014
[1]
Diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dengan sandanya dalam kitab Manaqib
asy-Syafi’I : 1/469. Juga ada disebutkan dalam kitab al-Hawi lil Fatawa,
as-Suyuthi : 1/276
[2] Fath al-Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali : 13/254
[3] Mirqah Shu’ud at-Tashdiq : 61
[4] Ibnu Ishaq dalam al-Sirah al-Nabawiyah I/30
[5] Ibnu Katsir : III/405
[6] Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219