Point berikutnya ustadz Zainal membuat persepsi bahwa “ Tidak
ada yang namanya bid’ah hasanah. Bid’ah itu konotasinya selalu jelek
dan sesat, jadi tidak ada dalilnya sedangkan hasanah itu pasti baik, ada
dalilnya. Tidak mungkin kalimat bid’ah dan kalimat hasanah kumpul jadi
satu. “
Tanggapan saya :
Pernyataan ustadz Zainal sama sekali tidaklah benar. Penyimpulan
ustadz Zainal ini berangkat dari memahami definisi bid’ah imam
asy-Syathibi yang dipahaminya dengan pemahaman pincang sebelah.
Asy-Syatibi yang berakidahkan asy’ari tulen ini sebenarnya sepakat
dengan pemahaman jumhur ulama bahwa ada perkara baru dalam agama yang
diterima oleh syare’at. Meskipun beliau tidak mau menyebutnya bid’ah,
akan tetapi beliau menyebutnya sebagai maslahah mursalah atau bid’ah fil
lafadz. Bagi kami (Aswaja) hal itu bukanlah suatu masalah yang
mencolok, hanya perbedaan istilah saja, adapun esensi maknanya sama,
tidak berbeda. Perhatikan ucapan asy-Syathibi berikut ketika
mengomentari pembagian bid’ah imam al-Izz bin Abdissalam berikut :
وصار من القائلين بالمصالح المرسلة، وسماها بدعاً في اللفظ، كما سمى عمر رضي الله عنه الجمع في قيام رمضان في المسجد بدعة
“ Dan ia (Ibnu Abdissalam) termasuk orang yang mengatakan dengan masalah mursalah dan ia menamakannya bid’ah secara lafaz / bahasa, sebagaimana Umar radhiallahu ‘anhu menamakan kumpulan dalam sholat tarawih di bulan Ramadhan dengan bid’ah “[1]
Asy-Syathibi dengan jelas mengakui bahwa pembagian bid’ah yang
dilakukan al-Izz bin Abdissalam adalah bid’ah dari segi lafadz (bahasa)
sebagaimana penyebutan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu pada kasus
sholat terawikh. Asy-Syathibi menyebutnya sebagai bid’ah segi lafadz
bukan segi syare’at dan kami menyebutnya bid’ah hasanah.
Lebih jelas Ibnu Rajab al-Hanbali mempertegas :
وأمّا ما وقع في كلام السلف من استحسان بعض البدع فإنّما ذلك في البدع اللغوية لا الشرعية،
فمن ذلك قول عمر رضي الله عنه لمّا جمع النّاس في قيام رمضان على إمام
واحد في المسجد، وخرج ورآهم يصلون كذلك، فقال: نعمت البدعة هذه
“ Dan adapun apa yang terjadi pada ucapan ulama salaf dari
menganggap baik (hasanah) pada sebagian bid’ah, maka sesungguhnya itu
hanyalah dalam bid’ah segi bahasa saja bukan segi syar’iyyah. Di antara
contoh hal itu adalah ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika
mengumpulkan manusia untuk mendirikan sholat malam di bulan Ramadhan
pada satu imam di dalam masjid, beliau keluar dan melihat mereka sholat
seperti itu, maka beliau berkata “ Sebaik-baik bid’ah adalah ini “. [2]
Pemahaman Ibnu Rajab menguatkan pemahaman kami (Aswaja) bahwa perkara
baru atau bid’ah yang sering disebut oleh ulama salaf sebagai bid’ah
hasanah adalah dalam konteks dan pandangan bid’ah segi bahasa saja bukan
syar’iyyah. Ibnu Rajab lebih mengakui penyebutan bid’ah pada perkara
baru dalam agama, meskipun beliau menyebutnya bukan bid’ah hasanah namun
bid’ah lughawiyyah. Hal ini sekali lagi bukanlah masalah bagi kami,
karena ini hanyalah perbedaan istilah saja, perbedaan lafaz saja, akan
tetapi inti atau subtansi pemahamannya sama tidak berbeda.
Lebih jelas lagi Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :
والمراد بالبدعة: ما أحدث ممّا لا أصل له في الشريعة يدل
عليه، فأمّا ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعًا، وإن كان
بدعة لغة
“ Yang dimaksud dengan bid’ah adalah : Segala perkara baru yang
tidak ada asalnya dalam syare’at yang menunjukkan atasnya. Adapun
perkara baru yang ada asal dari syare’at yang menunjukkan atasnya, maka
bukanlah bid’ah dalam segi syare’atnya, walaupun itu bid’ah dalam segi
bahasanya “. [3]
Begitu jelas Ibnu Rajab mengatakan bahwa perkara baru yang ada
landasan syare’atnya disebut bid’ah dalam segi bahasanya dan bukan
bid’ah dalam segi syare’atnya artinya boleh dilakukan. Hal ini sesuai
dengan pemahaman kami (syafi’iyyah) selama ini yang memahami bahwa
setiap perkara yang memiliki landasan dalam syare’atnya adalah boleh
dilakukan meskipun saling berbeda di dalam menamai perkara tersebut.
Ibnu Rajab dan asy-Syathibi menyebutnya bukan bid’ah, ada yang
menyebutnya bid’ah lughowiyyah, ada pula yang menyebutnya maslahah
mursalah dan ulama syafi’iyyah menyebutnya bid’ah hasanah. Semua ini
hanyalah perbedaan dalam lafaznya saja, adapun subtansi pemahamannya
sama, tidak berbeda.
Bukti adanya para ulama salaf maupun kholaf yang menyandingkan
kalimat bid’ah atau muhdatsah dengan hasanah atau mahmudah di antaranya :
Al-Imam al-A’dzam asy-Syafi’i. Sebagaimana telah dijelaskan oleh syaikh Ibnu Taimiyyah berikut ini :
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan ;
ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا أو اعتقادا زعم أن الايمان
لا يتم الا به مع العلم بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة
باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة
قال الشافعي رحمه الله البدعة بدعتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا
عن بعض أصحاب رسول الله صلى الله عله وسلم فهذه بدعه ضلاله وبدعه لم تخالف
شيئا من ذلك فهذه قد تكون حسنة لقول عمر نعمت البدعة هذه
هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي باسنادة الصحيح فى المدخل ويروى عن مالك
رحمه الله أنه قال إذا قل العلم ظهر الجفا وإذا قلت الآثار كثرت الأهواء
“ Dari sini dapat diketahui kesesatan yang membuat-buat cara atau
keyakinan baru, dan ia berasusmsi bahwa keimanan tidak akan sempurna
tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyebutnya.
Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum
muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya,
terkadang tidak dinamakan bid’ah.
Al-imam Syafi’i rahimahullahu berkata : “ Bid’ah itu ada dua. Pertama,
bid’ah yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma dan Atsar sebagian sahabat
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, ini disebut bid’ah dholalah.
Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut, ini terkadng disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “ Inilah sbeaik-baik bid’ah. “ Pernyataan Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang sahih. “[4]
Dari penjelasan Ibnu Taimiyyah ini, dapat kita pahami bahwasanya :
- Ada bid’ah yang diterima oleh syare’at.
- Ibnu Taimiyyah menguatkan argumentasinya dengan membawakan ucapan
imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua; yakni bid’ah hasanah dan
bid’ah dholalah.
- Dari penjelasan Ibnu Taimiyyah, ternyata imam Syafi’i membagi
bid’ah dengan menggunakan dalil dari ucapan Umar bin Khaththab yang
mengatakan “ Ni’matil bid’atu hadzihi “. Ini bukti adanya bid’ah hasanah
sebagaimana tercantum jelas dalam nukilan Ibnu Taimiyyah tersebut.
Pertanyaan : Apakah anda akan mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah dan
imam asy-Syafi’i tidak memahami kalimat bid’ah dan kalimat hasanah
sehingga menyatukan kalimat tersebut ?? atau apakah anda akan
menyalahkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dan imam asy-Syafi’i ??
Imam al-Qurthubi menegaskan :
فمحافظة عمر رضي الله عنه عليها، وجمع الناس لها، وندبهم إليها، بدعة لكنها بدعة محمودة ممدوحة
“ Maka perhatian Umar
atas sholat terawih ini, usaha mengmpulkan orang banyak dan
menganjurkannya adalah perkara bid’ah akan tetapi bid’ah mahmudah
(terpuji). “[5]
Dengan jelas imam al-Qurthubi seorang ulama ahli tafsir ini
menyatakan bid’ah mahmudah (terpuji) lagi mamduhah (terpuja) pada kasus
perhatian Umar bin Khaththab dalam mengumpulkan dan menganjurkan sholat
terawikh. Apakah imam Qurthubi tidak memahami kalimat bid’ah dan kalimat
mahamudah dan mamduhah, sehingga menyatukan kedua kalimat tersebut ??
Imam an-Nawawi yang puluhan bahkan ratusan kitabnya
dipergunakan oleh umat muslim diseluruh belahan dunia untuk diambil
faedah dan manfa’atnya baik kalangan salafi sendiri ataupun kalangan
Ahlus sunnah, mengatakan :
خاتمة : اجتماع الناس بعد العصر للدعاء كما يفعله أهل عرفة ،
قال الإمام أحمد : لا بأس به ؛ وكرهه الإمام مالك ، وفعله الحسن وسبقه ابن
عباس . قال النووي : وهو بدعة حسنة
“ Berkumpulnya manusia setelah asar untuk berdoa sebagaimana yang
dilakukan oleh penduduk ‘Arafah menurut Imam Ahmad tidaklah mengapa.
Namun Imam Malik memakruhkan hal itu. Dan Hasan Basri dan Ibn Abbas
melakukan hal itu. Sementara Imam Nawawi mengatakan bahwa perbuatan itu adalah bid’ah hasanah “.[6]
Mungkinkah imam an-Nawawi yang menguasai Ilmu alat (nahwu, shorof,
balaghah dan lughah), Ilmu qiraat, Ilmu naskhil utsmani, Ilmu tafsir,
Ilmu nasikh wal mansukh, Ilmu ghoribil quran, Ilmu i’jazil quran, Ilmu
i’rabil quran, ilmu ushul Fiqih dan qawadinya, ilmu ushul tafsir dan
tafsirnya, ilmu ushul hadits dan mustholahnya, ilmu ushul tauhid dan
tauhidnya dan sebagianya, ini tidak memahami kalimat bid’ah dan kalimat
hasanah, sehingga menyatukan kedua kalimat tersebut ??
Al-Imam Badruddin al-‘Aini mengatakan :
وذلك عندما جمع الناس في التراويح خلف قارىءٍ وكانوا قبل ذلك
يصلون أوزاعًا متفرقين والبدعة في الأصل إحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله
صلى الله عليه وسلم، ثم البدعة على نوعين، إن كانت مما تندرج تحت مستحسن
في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة
“ Yang demikian itu karena ketika beliau mengumpulkan manusia
dalam sholat tarawih di belakang satu imam, maka sebelumnya mereka
sholat dengan berpisah-pisah. Dan bid’ah makna asalnya adalah perkara
baru yang tidak ada di masa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
bid’ah itu ada dua macam, jika perkara baru itu berpacu dalam naungan
baik dalam syare’at, maka disebut bid’ah hasanah, dan jika berpacu dalam naungan yang buruk dalam syare’at, maka disebut bid’ah yang buruk “.[7]
Imam Ibnul Atsir mengatakan :
ومن هذا النوع قولُ عمر رضي اللّه عنه: نِعْمَت البدعة هذه. لمـَّا كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدَحها؛
لأن النبي صلى اللّه عليه وسلم لم يَسَنَّها لهم، وإنما صلاّها لَياليَ ثم
تَركَها ولم يحافظ عليها، ولا جَمع الناسَ لها، ولا كانت في زمن أبي بكر،
وإنما عمر رضي اللّه عنه جمع الناس عليها ونَدَبـهم إليها، فبهذا سمّاها
بدعة
“ Dari macam ini adalah ucapan Umar radhiallahu ‘anhu :
Sebaik-baik bid’ah adalah ini “, ketika sholat tarawih ini termasuk
perbuatan baik, dan masuk dalam batas terpuji maka beliau menyebutnya
bid’ah dan memujinya, karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah mensyare’atkannya pada mereka, beliau melakukannya hanya beberapa
malam kemudian meninggalkannya dan tidak merutinkannya, tidak pula
mengumpulkan manusia untuk melakukannya, tidka pula ada di masa Abu
Bakar As-Shdiddiq. Hanya Umar radhiallahu ‘anhu lah yang mengumpulkan
manusia untuk sholat tarawih dan menganjurkannya, dengan inilah beliau
menyebutnya bid’ah “.[8]
Dan masih banyak lagi para ulama yang menyandingkan kalimat bid’ah
dengan kalimat hasanah yang tidak saya sebutkan dalam catatan ringkas
ini.
Kesimpulan point ini adalah :
1. Bid’ah tidak berkonotasi jelek dan sesat.
2. Bid’ah ada yang hasanah dan dholalah.
3. Bid’ah bisa disandingkan dengan kalimat hasanah, karena faktanya
memang ada bid’ah yang baik dalam agama sebagaimana penjelasan ulama
salaf dan kholaf.
4. Penyimpulan Ustadz Zainal salah dan menyimpang dari pemahaman mayoritas ulama Ahlus sunnah baik salaf maupun kholaf.
Poin berikutnya ustadz Zainal mengatakan bahwa “ lafadz Kullu secara
bahasa bisa diartikan sebagian, sedangkan secara fakta hadits “ Kullu
bid’atin “ tidak bisa dan tidak pernah ada. Karena hadits ini dipahami
oleh sahabat tidak ada pengecualian bid’ah dalam agama, sekecil apapun,
semuanya sesat “
Tanggapan saya :
Pernyataan anda tidaklah benar sama sekali. Siapakah ulama salaf atau pun kholaf yang menyatakan seperti anda itu ?
قل هاتوا برهانكم ان كنتم صادقين
Imam an-Nawawi mengatakan :
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ.
“Sabda Nabi SAW, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah
kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu
sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan seluruhnya).”[9]
Imam Nawawi memahami bahwa lafadz kullu dalam hadits itu bermakna
sebagian besar bid’ah, bukan keseluruhan secara muthlaq. Tapi sayangnya,
pemahaman imam Nawawi ini anda tolak mentah-mentah sebagaimana dalam
dialog anda, dan lebih taqlid kepada pemahaman Ibnu Utsaimin yanag
bersih keras menyatakan lafadz Kullu tidak bisa di artikan sebagian.
Lebih salaf siapakah antara Imam Nawawi dan Ibnu Utsaimin wahai ustadz
??
Imam al-Qurthubi memperjelas kembali :
قلت: وهو معنى قوله صلى الله عليه وسلم في خطبته: (وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة)
يريد ما لم يوافق كتابا أو سنة، أو عمل الصحابة رضي الله عنهم، وقد بين
هذا بقوله: (من سن في الاسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من
بعده من غير أن ينقص من أجورهم شئ ومن سن في الاسلام سنة سيئة كان عليه
وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شئ) وهذا إشارة إلى ما ابتدع من قبيح وحسن، وهو أصل هذا الباب، وبالله العصمة والتوفيق، لا رب غيره
“ Aku (al-Qurthubi) katakana : “ Itulah makna ucapan Nabi shallahu
‘alaihi wa sallam dalam khutbahnya : ( Dan seburu-buruknya perkara
adalah perkara barunya dan setiap bid’ah itu sesat ) yang Nabi maksud
adalah perkara baru yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah atau
perbuatan sahabat radhiallahu ‘anhum. Ini sungguh telah Nabi jelaskan
dalam sabdanya : “Barang siapa merintis (memulai) dalam
agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari
perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka
baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa
mereka sedikitpun”, ini adalah isyarat kepada bid’ah yang buruk dan bid’ah yang baik, inilah esensi dalam bab ini. Dan dengan Allah lah kita mendapat ‘ishmah dan taufiq, tidak ada Rabb selain-Nya “. [10]
Imam al-Qurthubi menjadikan hadits “ Man sanna fil Islam “ sebagai
mukhashshis (pembatas) bagi hadits “ Kullu bid’atin “, artinya tidak
semua bid’ah itu sesat.
Imam Ibnul Atsir mengatakan :
وعَلَى هذا التأويل يُحمل الحديث الآخر: كل مُحْدَثة بدعةٌ، إنما يريد ما خالف أصول الشريعة ولم يوافق السُّنَّة
“ Atas dasar takwil ini, maka hadits yang lain ini “ Setiap yang baru adalah bid’ah “ diarahkan maknanya adalah yang dimaksud adalah perkara baru yang menyalahi asal-asal syare’at dan tidak sesuai sunnah “.[11]
Imam asy-Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua justru berhujjah dengan ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ الأُمُورِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا :
مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا , أَوْ سَنَةً , أَوْ أَثَرًا , أَوْ
إِجْمَاعًا , فَهَذِهِ لَبِدْعَةُ الضَّلالَةِ . وَالثَّانِيةُ : مَا
أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لا خِلافَ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا , فَهَذِهِ
مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُومَةٍ , وَقَدْ قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ فِي قِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ : ” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorangpun mengenainya bahwa hal baru ini tidak tercela, sungguh Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu telah berkata tentang sholat tarawih, “ Sebaik-baik bid’ah adalah ini ”.[12]
Ini membuktikan bahwa imam asy-Syafi’i memahami bahwa tidak semua
bid’ah selalu jelek dan sesat. Demikian juga Umar bin Khaththab memahami
tidak semua bid’ah itu sesat. Seandainya imam Syafi’i tidak memahami
lafadz Kullu dalam hadits “ Kullu bid’atin “, maka beliau tidak akan
membagi bid’ah menjadi dua. Demikian juga sendainya Umar bin Khaththab
radhialllahu ‘anhu tidak memahami lafadz Kullu, niscaya beliau akan
mengatakan “ Ni’matis Sunnatu Hadzihi “ karena tidak ada bid’ah dalam
agama dan tidak ada bid’ah yang diterima oleh syare’at. Tapi
Alhamdulillah, faktanya imam asy-Syafi’i dan sayyidina Umar bin
Khaththab memahami dengan baik lafadz kullu bid’atin yang diikuti
pemahamannya oleh mayoritas ulama Ahlus sunnah hingga saat ini.
Kesimpulan point ini adalah :
1. Lafadz kullu bisa diartikan sebagian dalam hadits “ Kullu bid’atin “.
2. Kalimat bid’ah bisa dikumpulkan atau disatukan dengan kalimat Hasanah, karena faktanya memang ada bid’ah hasanah.
3. Sejak masa salaf baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in telah
memahami adanya pembagian bid’ah menjadi bid’ah yang ditolak dan bid’ah
yang diterima.
4. Penyimpulan ustadz Zainal Abidin yang mengatakan,
“ Lafadz kullu secara bahasa bisa diartikan sebagian, sedangkan lafadz
kullu pada hadits “ Kullu bid’atin “ tidak bisa diartikan sebagian “,
adalah penyimpulan bid’ah sesat yang tidak seorang ulama pun dari
kalangan salaf maupun kholaf yang mengatakannya demikian.
Kemudian ustadz Zainal menolak adanya bid’ah hasanah dengan berhujjah ucapan Ibnu Umar sebagai berikut :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“ Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan .“ [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Tanggapan saya :
Yang dimaksud oleh beliau adalah bid’ah dalam syare’at yaitu bid’ah
yang bertentangan dengan asal syare’at. Jika anda menggeneralisir ucapan
beliau ini sebagai pengakuan beliau bahwa semua bid’ah itu sesat, maka
jelas bertentangan dengan fakta dan realita pengakuan beliau adanya
bid’ah baik yang diterima :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: ثَنَا حَاجِبُ بْنُ عُمَرَ، عَنِ
الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ
الضُّحَى؟ فَقَالَ: ” بِدْعَةٌ “
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Haajib bin ‘Umar, dari Al-Hakam bin Al-A’raj,
ia berkata : Aku pernah bertanya kepafa Ibnu ‘Umar tentang shalat
Dluhaa, ia menjawab : “Bid’ah”
Ibnu Umar menilai bid’ah dalam sholat dhuha itu adalah bahwasanya
pada masa khilafah Utsman bin ‘Affan, banyak dari orang-orang yang
membiasakan diri datang ke masjid-masjid saat waktu karohah (kemakruhan
melakukan sholat) itu keluar, lalu mereka melakukan sholat dhuha.
Tradisi ini menjadi kental dan dikenal oleh orang banyak saat itu,
sehingga tidaklah dikenal sholat dhuha kecuali adalah sholat yang
dilakukan di dalam masjid setelah keluarnya waktu isyraq. Padahal
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya setelah
terangkatnya matahari seukuran tombak dalam pandangan mata.
Perhatikan komentar imam Ibnu Juraij berikut ini :
أول من صلاها أهل البوادي ، يدخلون المسجد إذا فرغوا من أسواقهم
“ Orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah
penduduk dusun Arab, mereka masuk masjid jika telah selesai dari pasar
mereka “[13]
Imam ath-Thawus juga mengatakan:
إن أول من صلاها الأعراب ، إذا باع أحدهم بضاعة يأتي المسجد فيكبر ويسجد
“ Sesungguhnya orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti)
itu adalah kaum baduwi Arab, jika mereka telah selesai menjual satu
barang, maka mereka mendatangi masjid bertakbir dan sujud “. [14]
Dalam Fathul Bari dikatakan :
أو الذي نفاه صفة مخصوصة كما سيأتي نحوه في الكلام على حديث عائشة . قال عياض وغيره : إنما أنكر ابن عمر ملازمتها وإظهارها في المساجد وصلاتها جماعة ، لا أنها مخالفة للسنة . ويؤيده ما رواه ابن أبي شيبة ، عن ابن مسعود أنه رأى قوما يصلونها فأنكر عليهم ، وقال : إن كان ولا بد ففي بيوتكم
“ Atau yang dinafikan (oleh Ibnu Umar) adalah sifat dengan cara
tertentunya sebagaimana akan datang penjelasannya dalam hadits Aisyah.
Imam Iyadh dan selainnya mengatakan, “ Sesungguhnya yang diingkari oleh
Ibnu Umar adalah hanyalah melazimkannya, menampakkannya di masjid-masjid
dan melakukan sholat dhuha dengan berjama’ah “, argumentasi ini
dikuatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Ma’ud bahwasanya beliau
melihat satu kaum yang melakukan sholat itu, lalu beliau mengingkarinya
dan berkata “ Jika tetap mau melakukannya, hendaknya melakukannya di
rumah-rumah kalian “.
Maka kesimpulannya adalah ucapan Ibnu Umar semua bid’ah itu sesat,
adalah bid’ah yang melanggar asal dalam syare’at, bukan bid’ah yang
berlandaskan asal dalam syare’at.
Bersambung pada point-point berikutnya…
Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Kota Santri, 01-01-2013
[1] al-I’tishom, m.s. 145-146
[2] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab : 2/128
[3] Fath al-Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali : 13/254
[4] Majmu al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah : 20/163
[5] Tafisr al-Qurthubi : 2/84
[6] Hasyiah al-Bujairami ‘ala al-Khathib : 2/226
[7] Umdatul Qari fi Syarh sahih al-Bukhari : 11/126
[8] An-Nihayah fi Ghraibil Hadits : 1/106-107
[9] Syarh Shahih Muslim, 6/154
[10] Tafisr al-Qurthubi : 2/84-85
[11] An-Nihayah fi Ghraibil Hadits : 1/106-107
[12] Al-Hawi lil Fatawaa : 1/176
[13] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79
[14] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79-80